This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha - Premiumbloggertemplates.com.
Jumat, 19 April 2013
As-Sunnah
15.55
Unknown
No comments
I.
RUMUSAN MASALAH
1.
Pengertian
As Sunnah
2.
Pembagian
Sunnah
3.
Kehujahan
As-sunnah
4.
Kedudukan Sunnah Terhadap Al-Qur’an
III.
PEMBAHASAN
Pengertian As
Sunnah
Sunnah
secara etimologi berarti cara yang dibiasakan atau cara yang terpuji, sunnah lebih
umum disebut dengan hadis yang mempunyai beberapa arti secara etimologis, yaitu
Qarib, artinya dekat, jadid artinya baru, dan khabar artinya
berita atau warta.
Dari beberapa arti
tersebut, yang sesuai dengan pembahasan ini adalah hadis dalam arti khabar,
seperti tersebut dalam firman Allah SWT. Surat At-Tur: 34.
(#qè?ù'uù=sù ;]Ïpt¿2 ÿ¾Ï&Î#÷WÏiB bÎ) (#qçR%x. úüÏ%Ï»|¹ ÇÌÍÈ
Artinya:
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Qur’an
itu jika mereka orang-orang yang benar”
(QS.
Ath-Thur: 34)
Dalam hadis Nabi SAW. kata hadis dipakai
dengan arti khabar, terdapat dalam sabdanya:
يُوْشِكُ
اَحَدُ كُمْ اَنْ يَقُوْلَ هَذَا كِتَابُ اللهِ مَاكَانَ فِيْهِ مَنْ حَلاَلٍ اَحْلَلْنَاهُ وَمَاكَانَ فِيْهِ مِنْ
حَرَامٍ حَرَّمْنَاهُ اِلامَنْ بَلَغَهُ عَنى حَدِيْث فَكَذَبَ بِهِ فَقَدْ كَذَبَ
ثَلَاثَةٌ اللهُ وَرَسُوْلُهُ وَالِّذِيْ حَدَّثَ بِه. (رواه احمد والدارمى)
Artinya:
“Hampir-hampir
akan ada seseorang di antara kamu yang akan berkata, “Ini Kitab Allah. Apa yang
halaldi dalamnya kami halalkan Dan apa yang haram di dalamnya kami haramkan.”
Ketauhilah barang siapa sampai kepadanya suatu ‘khabar’ dari aku, ‘lalu ia dustakan
berarti ia telah mendustakan tiga orang’ dia mendustakan Allah, mendustakan
Rosul-Nya, dan mendustakan orang yang menyampaikan berita itu.’’
Menurut ulama ushul fiqih, sunah di
artikan:
مَا
صَدَرَ عَنِ النَّبِيَّ ص. م. غَيْرُ الْقَرْأَنِ مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ
.
Artinya:
“Semua yang lahir dari Nabi SAW. selain Al-Qur’an, baik berupa
perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan.”
Jelasnya, setiap perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi SAW. yang
berkaitan dengan hukum di namakan hadis.
Adapun sunah
menurut para ahli fiqih, di samping mempunyai arti seperti yang di kemukakan
para ulam ushul fiqih,juga di maksudkan sebagai salah satu hukum taklif
yang mengandung pengertian, “Perbuatan yang apabila di kerjakan mendapat pahala
dan bila di tinggalkan tidak berdosa.”
Dari beberapa
pengertian di atas, tampak bahwa sunah/hadis menurut ulama ahli hadis itu
mempunyai pengertian lebih luas daripada menurut ulama ahli ushul. Ulama ahli
hadis memandang bahwa semua yang datang dari Nabi SAW. (perkataan, perbuatan,
dan taqrir) baik yang berkaitan dengan hukum atau tidak. Sedangkan menurut
ulama ahli ushul hanya terbatas pada sesuatu yang berkaitan dengan hukum. Di
luar hukum bukan di namakn hadis, seperti cara berpakaian, cara makan, dan
sebagainya.
Pembagian Sunnah
Sunah atau hadist
berdasarkan definisi menurut para ahli diatas, dapat dibedakan menjadi
Qauliyah, Fi’liyah, dan taqririyah.
1.
Sunah
Qauliyah, yang sering dinamakan juga dengan
khabar atau berita berupa perkataan Nabi SAW. Yang didengar dan disampaikan
oleh seorang atau beberapa sahabat kepada orang lain, seperti sabda Nabi yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
لَاصَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَءْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Artiya:
“Tidak sah shalat seseorang
yang tidak dapat membaca surat Al-Fatihah.”
Dalam hadist lain, Nabi SAW. Bersabda :
اِنَّمَا اْلَاعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَاِنَّمَالِكُلِّ امْرِئٍ
مَانَوَى
Artinya:
“Setiap amal perbuatan itu bergantung kepada niat. Dan segala
sesuatu itu menurut niatnya.”
Sunnah Qauliyah
dapat dibedakan atas tiga bagian:
a.
Diyakini
benarnya, seperti kabar yang datang dari Allah dan dari Rasul-Nya yang
diriwayatkan oleh orang-orang yang dapat dipercayai dan kabar-kabar mutawatir.
b.
Diyakini
dustanya, seperti dua kabar yang berlawanan dan kabar yang menyalahi dari
ketentuan-ketentuan syara’, seperti bid’ah-bid’ah sayyi’ah.
c.
Yang
tidak diyakini kebenaranya dan dustanyayang terdiri atas 3 macam:
a)
Tidak
kuat benarnya dan tidak pula dustanya, seperti berita yang disampaikan oleh
orang bodoh.
b)
Kabar
yang kuat dustanya dari benarnya, seperti yang disampaikan oleh orang fasik
(yakni orang yang mengakui peraturan-peraturan islam, tetapi tidak
mengindahkanya)
c)
Kabar
yang kuat benarnya dari dustanya, seperti kabar yang disampaikan oleh orang
yang adil (dipercayai)
2.
Sunah
Fi’liyah, yaitu setiap perbuatan yang
dilakukan oleh Nabi SAW. Yang diketaui dan disampaikan oleh para sahabat kepada
orang lain. Misalnya, cara wudhu yang dipraktekkan Nabi SAW., tata cara shalat,
dan haji.
Sunah
Fi’liyah terbagi menjadi 5 bentuk, yaitu:
a.
Nafsu
yang terkendalikan oleh keinginan dan gerakan kemanusiaan, seperti gerakan
anggota badan dan gerak badan; Sunah Fi’liyah seperti ini menunjukkan
mubah (boleh).
b.
Sesuatu
yang tidak berhubungan dengan ibadah, seperti berdiri, duduk, dan lain-lain.
c.
Perangai
yang membawa kepada syara’ menurut kebiasaan yang baik dan tertentu, seperti
makanan , minuman, berpakaian dan tidur.
Seperti
hadis Nabi SAW. Berikut ini:
كَانَ النَّبِيُّ ص.م. يَأْكُلُ خُبْزَ السَّعِيْرَ غَيْرَ صَنْخُوْلٍ
(رواه البخارى)
Artinya:
“Nabi
memakan roti dari tepung gandum yang belum diayak.”(HR. Bukhori).
Hadist
Nabi SAW. yang lain seperti:
كَانَ النَّبِيُّ ص.م. يَلْبَسُ قَمِيْصًا فَوْقَ الْكَعْبَيْنِ (رواه
الحاكم)
Artinya:
“Adalah
Nabi Memakai bajunya di atas dua mata kaki.” (HR. Hakim)
d.
Sesuatu
yang tertentu kepada Nabi saja, seperti beristeri lebih dari empat orang.
e.
Untuk
menjelaskan hukum-hukum yang mujmal (samar-samar), seperti menjelaskan
perbuatan haji dan umrah; perbuatan-perbuatan shalat yang lima waktu (fardu)
dan shalat khusuf (gerhana).
3.
Sunah
Taqririyah, yaitu perbuatan atau ucapan
sahabat yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi SAW., tetapi Nabi
hanya diam dan tidak mencegahnya. Sikap diam dan tidak mencegah menunjukkan
persetujuan Nabi SAW. Misalnya, kasus Amr ibn Al-Ash yang berada dalam keadaan junub
(wajib mandi) pada suatu malam yang sangat dingin. Ia tidak sanggup mandi
karena khawatir akan sakit. Amr ibn Al-Ash ketika itu hanya bertayamum. Lalu
hal ini disampaikan kepada Rasulullah SAW. Rasulullah kemudian bertanya kepada
Amr ibn Al-Ash, “Engkau melaksanakan
shalat bersama-sama teman engkau, sedangkan engkau dalam keadaan junub?” Amr
ibn Al-Ash menjawab, “Saya ingat firman Allah Ta’alayang menggatakan, ‘Jangan
kamu membunuh diri kamu, sesungguhnya Allah itu maha pengasihlagi maha
penyayang’, lalu saya bertayamumdan langsung shalat”. Mendengar jawaban Amr ibn
Al-Ash ini Rasulullah SAW. Tertawa dan tidak berkomentar apapun (HR.Ahmad ibn
Hambal dan Al-Baihaqi).
Tidak
berkomentarnya Rasulullah SAW. Dipandang sebagai pengakuan bolehnya bertayamum
bagi orang yang junub dalam keadan hari yang sangat dingin; sekalipun ada air
untuk mandi.[1]
Kehujahan As-sunnah
Seluruh
kaum muslimin telah bulat pendapatnya bahwa sabda, perbuatan dan taqrir
Rosulullah SAW. yang dimaksudkan sebagai undang-undang dan pedoman hidup ummat
yang harus diikuti dan yang sampai kepada kita dengan sanad (sandaran) yang shahih,
hingga memberikan keyakinan yang pasti atau dugaan yang kuat bahwa hal itu
datangnya dari Rasulullah, adalah sebagai hujjah bagi kaum muslimin dan sebagai
sumber syari’at tempat para mujtahid mengeluarkan hukum-hukum syara’.
Hukum-hukum yang dipetik dari as-sunnah wajib ditaati sebagaimana
hukum-hukum yang diistimbatkan dari Al-Qur’an.
Adapun dalil-dalil
yang menetapkan bahwa as-sunnah menjadi hujjah bagi kaum muslimin sebagai
sumber hukum ialah:
Pertama, Al-Qur’an.
Di dalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang memerintahkan kaum muslimin
agar mentaati Rasulullah SAW. dengan ungkapan berbeda-beda.
Misalnya firman Tuhan:
ö@è% (#qãèÏÛr& ©!$# ^qߧ9$#ur ( bÎ*sù (#öq©9uqs? ¨bÎ*sù ©!$# w
=Ïtä tûïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÌËÈ
32. Katakanlah:
"Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (al-Imran: 32)
Di dalam surat an-Nisa’: 80, Tuhan
menjelaskan bahwa taat kepada Rasulullah SAW. adalah sama dengan taat kepada
Allah,firman-Nya.
`¨B ÆìÏÜã tAqߧ9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# ( `tBur 4¯<uqs? !$yJsù y7»oYù=yör& öNÎgøn=tæ $ZàÏÿym ÇÑÉÈ
80. Barangsiapa
yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka[321]. (an-Nisa’: 80)
[321] Rasul tidak bertanggung jawab
terhadap perbuatan-perbuatan mereka dan tidak menjamin agar mereka tidak
berbuat kesalahan.
Di tempat lain Tuhan mencela orang
mu’min dan mu’minah yang mengadakan pilihan menurut pendapatnya sendiri,
padahal Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan ketentuanya, firman-Nya:
$tBur tb%x. 9`ÏB÷sßJÏ9 wur >puZÏB÷sãB #sÎ) Ó|Ós% ª!$# ÿ¼ã&è!qßuur #·øBr& br& tbqä3t ãNßgs9 äouzÏø:$# ô`ÏB öNÏdÌøBr& 3 `tBur ÄÈ÷èt ©!$# ¼ã&s!qßuur ôs)sù ¨@|Ê Wx»n=|Ê $YZÎ7B ÇÌÏÈ
36. dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata. (al-Ahzab: 36)
Ayat-ayat tersebut, biarpun dengan
ungkapan yang berbeda-beda, tetapi mafhumnya sama, adalah sebagai bukti bahwa
apa yang disyari’atkan oleh Rasulullah SAW., juga syari’at ilahi yang wajib
ditaati oleh seluruh kaum muslimin.
Kedua,
as-sunnah. Tidak sedikit jumlah hadist-hadist Rasulullah SAW., yang
memerintahkan agar kaum muslimin selalu berpegang kepada sunnah Rasulullah. Antara
lain hadist Abu Najih al-Irbadh bin sariyah ra. Yang menceritakan:
وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ (صلى الله عليه وسلم) مَوْعِظَة وَجِلَتْ مِنْهَا
الْقُلُوْبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ, فَقُلْنَا: يَارَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا
مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ, فَأَوْصِنَا, قَالَ: أَوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ, وَإِنَّهُ مَنْ يَعْشِ مِنْكُمْ
فَسَيَرَى اِخْتِلَا فًاكَثِيْرًا, فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ خُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِيْنَ, عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ, وَإِيَّاكُمْ
وَمُحْدَ ثَاتِ الْاُمُوْرِ, فَإِنْ كُلُّ مُحْدَ ثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلَالَةٌ وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِى النَّارِ
(رواه احمد
وغيره)
“Rasulullah
SAW. memberikan nasihat kepada kita dengan suatu nasihat yang menggetarkan hati
dan mencucurkan air mata. Kami bertanya: “Hai rasulullah, nampaknya nasihat itu
nasihat (pamitan) terakhir. Karena itu beri nasihatlah kita! Sebab beliau: “Aku
nasihatkan kepadamu agar kamu taqwa kepada Allah, taat dan patuh, biarpun seorang
hamba sahaya memerintah kamu. Sungguh orang yang hidup lama (berumur panjang)
diantara kamu nanti bakal mengetaui adanya pertentangan-pertentangan yang
hebat.
Artinya:
Oleh karena itu
hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku, sunnah khulafa’ur-rasyidin yang
pada mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah dengan taringmu! Jauhilah
mengada-adakan perkara, sebab perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah.
Padahal setipa bid’ah itu adalah tersesat dan setiap yang tersesat itu di
neraka. (RW. Ahmad dan lainnya)
Jelaslah
kiranya hadist tersebut memerintahkan kepada kaum muslimin agar berpegang
kepada sunnah Rasulullah SAW. dan sunnah pada khulafa’ur-rasyidin yang mendapat
petunjuk dari sunnah Nabi.
Ketiga,
ijma’us sahabat. Para sahabat pada waktu Rasulullah SAW. masih hidup
selalu mengikuti segala sesuatu yang diperintahkan oleh beliau dan menjahui
segala sesuatu yang dilarangnya dengan tidak membedakan antara
kewajiban-kewajiban taat kepada hukum-hukum yang diwahyukan Tuhan didalam
Al-Qur’an dan hukum-hukum yang ditetapkan oleh beliau sendiri. Setelah Rasulullah
meninggal dunia, maka apabila merekatidak mendapatkan hukum-hukum dari
Al-Qur’an, mereka lalu meneliti hadist-hadist Rasulullah yang dihafal oleh para
sahabat. Abu Bakar ra. Misalnya, apabila beliau tidak mengigat sunnah yang
berhubungan dengan suatu kejadian, beliau lalu menanyakan kepada salah seorang
sahabat barangkali dia ingat sunnah Rasulullah dari hal yang dimaksudkan. Lalu
kepada sahabat yang lain, bila sahabat yang pertama tidak ingat. Kemudian
kejadian tersebut ditetapkan hukumnya menurut sunnah yang disampaikan oleh
sahabat kepada beliau. Umar bin khatthab ra. Sahabat-sahabat yang lain dan para
tabi’in kemudian menurut jejak Abu Bakar itu, dan tidak ada seorang pun
diantara mereka yang mengikuti bahwa sunnah Rasulullah SAW. wajib diikuti.
Keempat,
logika. Al-qur’an membani beberapa kewajiban kepada manusia pada umumnya
adalah secara global, yakni tidak diperinci dengan sejelas-jelasnya, baik
mengenai cara-cara melaksanakannya maupun syarat-syarat yang diperlukan untuk
melaksanakannya. Misalnya dalam memerintahkan menjalankan shalat, melakukan
puasa dan menunaikan ibadah haji, Al-qur’an tidak menerangkan bagaimana
cara-cara melaksanakan dan syarat-rukun apa yang diperlukannya dan dalam
mewajibkan membayar zakat, Al-qur’an pun tidak menjelaskan macam-macam harta
yang wajib dizakatkan dan beberapa besarnya zakat untuk tiap-tiap kesatuan
harta yang wajib dizakatkan. Akan tetapi Rasulullah SAW kemudian menjelaskan
kemujmalan (masih global) itu dengan sunnah qauliyahnya atau atau sunnah
fi’liyahnya. Karena beliau telah dianugerahi kekuasaan oleh Tuhan untuk
menjelaskan Al-qur’an.
Firman Tuhan :
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
44. keterangan-keterangan (mukjizat)
dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan
pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya
mereka memikirkan, (an-Nahl: 44)
[829] Yakni: perintah-perintah,
larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran.
Andaikata
sunnah itu bukan merupakan hujjah bagi kaum muslimin dan undang-undang yang
mereka taati, niscaya mereka tidak akan dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban
yang diperintahkan oleh Tuhan di dalam Al-qur’an dengan seksama. Oleh karena
itu logislah kiranya bahwa sunnah itu menjadi sumber hukum sesudah Al-qur’an.
Kedudukan Sunnah Terhadap Al-Qur’an
Sunnah berfungsi
menopang Al-qur’an dalam menjelaskan hukum-hukum Islam. Bentuk penopang dapat
dirumuskan ke dalam tiga hal sebagai berikut:
Pertama,
sunnah berfungsi menjelaskan ayat yang masih mubham; merinci ayat yang mujhal;mentakhsis
ayat Al-qur’an yang umum – meski kekuatan Sunnah dalam mentakhisis ayat
Al-qur’an yang umum masih diperselisikan ulama; dan menjelaskan antara ayat
yang nasikh dan yang mansukh – menurut jumhur ulama yang
berpendapat adanya kemunkinan nasakh pada sebagian hukum-hukum Al-qur’an.
Kedua,
Sunnah menambah kewajiban-kewajiban syara’ yang ketentuan pokoknya telah
ditetapkan dengan nash Al-qur’an. Misalnya, Sunnah datang dengan membawa
hukum-hukum tambahan yang menyempurnakan ketentuan-ketentuan pokok tersebut.
Ketiga,
Sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam Al-qur’an; tidak
pula merupakan tambahan terhadap nash Al-qur’an.
Demikianlah
macam-macam hukum yang dibawa oleh Sunnah. Itu pun di luar ketentuan Sunnah
yang menyangkut hukum-hukum taqririyah yang bukan merupakan hukum
tambahan, dimana masalah tersebut telah kami uraikan ketika membicarakan
Al-qur’an Al-karim.
Dan oleh karena
itu Allah SWT. menjadikan Al-qur’an sebagai penjelas terhadap segala sesuatu,
maka sebagai konsekuensi logisnya Sunnah secara keseluruhan sedah pasti
tercakup di dalamnya. Sebab perintah dan larangan merupakan inti dari apa yang
terkandung di dalam Al-qur’an. Sebagai bukti/contoh, firman Allah SWT:
$¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4
Artinya:
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[472],
[472] Sebahagian mufassirin menafsirkan Al-Kitab itu dengan Lauhul
mahfudz dengan arti bahwa nasib semua makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan)
dalam Lauhul mahfudz. dan ada pula yang menafsirkannya dengan Al-Quran dengan
arti: dalam Al-Quran itu telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum,
hikmah-hikmah dan pimpinan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan
kebahagiaan makhluk pada umumnya.[2]
IV.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Yahya, Mukhtar. Rahman, Fatchur, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum
Fiqh-Islami, Bandung: PT. Alma’arif, 1986.
Zahra, Muhammad Abu, Ushul Fiqih, Jakarta: PT Pustaka
Firdaus, 1995.
Uman, Chaerul, Ushul Fiqh 1, Bandung: CV Pustaka Setia, 1998