Al-Bayan artinya ialah penjelasan; di sini maksudnya ialah menjelaskan lafadz
atau susunan yang mujmal.
Jelasnya ialah :
البيان اخراج الشيئ من حيز الاشكال الى حيز التجلى .
“Bayan ialah mengeluarkan sesuatu dari tempat yang sulit kepada tempat yang
jelas”.
a. Macam-macam bayan :
1) Bayan dengan perkataan ; Sebagaimana Firman Allah s.w.t. :
“Barangsiapa tidak mendapat (beli binatang qurban), hendaklah ia berpuasa tiga
hari dalam masa haji, dan tujuh hari apabila kamu kembali; yang demikian itu
sepuluh hari sempurna”. ( Al- Baqarah : 196 )
Lafadz “tujuh” dalam bahasa Arab sering ditujukan kepada banyak yang diartikan
lebih dari tujuh. Untuk menjelaskan “tujuh betul-betul”, maka Allah iringi
dengan firmanNya “sepuluh” hari yang sempurna.
Penjelasan “tujuh betul-betul” dalam ayat ini adalah dengan ucapan.
2) Bayan dengan perbuatan ; seperti penjelasan Nabi s.a.w. pada cara-cara
shalat dan haji :
صلوا كما رايتمونى اصلى .
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku menjalankan shalat”. ( HR. Bukhari
)
Cara shalat ini dijelaskan dengan perbuatan oleh Nabi s.a.w. yakni beliau
mengerjakan sebagaimana cara beliau mengerjakan, sambil menyuruh orang
menirunya.
3) Bayan dengan isyarat ; misalnya penjelasan Nabi s.a.w. tentang jumlah hari
dalam satu bulan. Penjelasan ini diberikan kepada sahabat beliau mengangkat
kesepuluh jarinya tiga kali, yakni 30 hari. Kemudian mengulanginya sambil
membenamkan ibu jarinya pada kali yang terakhir. Maksudnya bahwa bulan Arab itu
kadang-kadang 30 hari atau 29 hari.
4) Bayan dengan meninggalkan sesuatu ; Misalnya hadits Ibnu Hibban yang
menerangkan :
كان اخر الامرين منه ص م . عدم الوضوء مما مست النار . (
روه ابن حبان )
“Adalah akhir dua perkara pada Nabi s.a.w. tidak berwudlu’ karena makan apa yang
dipanaskan oleh api”.
Hadits ini sebagai penjelasan yang menyatakan bahwa Nabi s.a.w. tidak berwudlu’
lagi setiap kali selesai makan daging yang dimasak.
5) Bayan dengan diam ; Misalnya tatkala Nabi s.a.w. menerangkan wajibnya ibadah
haji, ada orang yang bertanya “apakah setiap tahun ya Rasulullah ?” Rasulullah
berdiam tidak menjawab. Diamnya Rasulullah ini berarti menetapkan bahwa
kewajiban haji itu tidak tiap –tiap tahun.
3. TAKHIRUL BAYAN ( mengundurkan Bayan )
Mengundurkan bayan ini ada dua macam : (1) Mengundurkan dari waktu yang
dibutuhkan, dan (2) Mengundurkan bayan dari waktu turunnya perintah/khithab.
a. Mengundurkan penjelasan dari waktu yang dibutuhkan :
تاخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز .
Artinya :
“Mengundurkan penjelasan dari waktu dibutuhkan itu tidak dibolehkan”.
Kalau mengundurkan penjelasan ini terjadi, berarti membolehkan mengamalkan
sesuatu yang mujmal sebelum ada bayan, tegasnya mengamalkan sesuatu dengan cara
yang tidak sesuai dengan yang dikehendaki syara’. Misalnya Fatimah binti
Hubaisy datang kepada Rasulullah s.a.w. kemudian bertanya :
يا رسول ا لله انئ امراة استحاض فلا اطهر افادع الصلا ة
فقال لها ص م . لا انما ذالك
عرق و ليست بالحيضة فاذا اقبلت الحيضة فدعى الصلاة و اذا
ادبرت فاغسلى عنك الدم و صلى , ( متفق عليه )
Artinya :
”Wahai Rasulullah, saya ini perempuan yang mengeluarkan darah istihadlah,
berarti saya tidak dalam keadaan suci terus-menerus, bolehkah saya meninggalkan
shalat ? Nabi bersabda : “Jangan, karena hal itu hanya penyakit saja ( ‘irqun =
keringat ) dan bukan haidl. Apabila datang waktu haidl tinggalkanlah shalat,
dan apabila habis waktunya cucilah darah itu dari kamu ( mandilah ) dan
shalatlah”. ( HR Bukhari dan Muslim )
Dari hadits ini tidak ada penjelasan ( bayan ) bahwa perempuan yang istihadlah
itu wajib bersuci untuk setiap kali shalat. Sebab kalau mereka diwajibkan
bersuci setiap kali shalat, niscaya Rasulullah s.a.w. telah memberikan
penjelasan di waktu itu juga, karena pada saat itulah penjelasan dibutuhkan.
b. Mengundurkan bayan dari waktu khithab :
تاخير البيان عن وقت الخطاب يجوز .
“Mengundurkan penjelasan dari waktu khithab dibolehkan”.
Artinya, pada waktu turunnya perintah belum ada penjelasan, misalnya firman
Allah :
Artinya :
“Apabila Kami bacakan (Al- Qur’an ) ikutilah bacaannya. Kemudian sesungguhnya
atas tanggungan Kamilah penjelasannya”. ( Al-Qiyamah : 18-19 )
Lafadz “tsumma = kemudian” berarti kemudian dengan ada jarak waktu antara
khithab dan penjelasan. Dengan demikian mengundurkan bayan itu boleh, baik
mubayyannya dhahir atau tidak. Misalnya menerangkan cara shalat sesudah badanya
khithab “aqiimush shalata = dirikanlah olehmu akan shalat” dengan bayan yang
datangnya kemudian dari Nabi s.a.w. yang disabdakan dalam hadits “shalluu kamaa
ra-aitumuuni ushalli”.
4. Pendapat para Ulama tentang pembagian Bayan.
A. Menurut pendapat ahlur Ra’yi, penerangan Al-Hadits terhadap Al-Qur’an
terbagi tiga :
1 . Bayan Taqrir, yaitu “keterangan yang didatangkan oleh As-Sunnah untuk
menambah kokoh apa yang telah diterangkan oleh Al-Qur’an. Contohnya adalah
sabda Nabi s.a.w. :
صوموا لرؤيته و افطروا لرؤيته.
Artinya : “Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah
melihatnya”.
Hadits ini menguatkan firman Allah s.w.t. Yaitu :
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara
kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu”. (Q.S. Al-Baqarah : 185)
2. Bayan Tafsir, yaitu “Menerangkan apa yang kira-kira tak mudah diketahui
(tersembunyi pengertiannya), seperti ayat-ayat yang mujmal dan yang musytarak
fihi.
Diantara contoh bayan tafsir bagi mujmal, ialah : seperti hadits yang
menerangkan kemujmalan Ayat-ayat shalat, Ayat-ayat zakat, Ayat-ayat haji. Dalam
ibadat-ibadat ini, Ayat Al-Qur’an, mujmal. Diperintahkan kita bershalat, tetapi
tidak diterangkan tata caranya; tidak diterangkan rukun-rukunnya, tidak
diterangkan waktu-waktunya. Semua yang tersebut ini diterangkan Nabi dengan
sabdanya :
صلوا كما رايتمونى اصلى .
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku menjalankan shalat”. ( HR. Bukhari
)
Allah memerintahkan zakat. Maka As-Sunnah menerangkan detail-detailnya.
Nabi bersabda terhadap zakat emas dan perak :
ها تو ا ربع عشر اموالكم .
“Berikanlah dua setengah persen dari harta-hartamu”.
Dan Nabi menerangkan zakat binatang, tumbuh-tumbuhan dengan berbagai surat yang
dikirimkan kepada pegawai zakat dan dengan beberapa hadits yang ma’tsur.
Demikian juga Haji. Al-Qur’an memujmalkannya. As-Sunnah menjelaskannya dengan
sabda Nabi :
خذوا عنى مناسككم .
“Ambillah dari ku amalan-amalan haji kalian”.
Di antara contoh-contoh bayan tafsier bagi yang musytarak fihi. Ayat quru’ .
Berfirman Allah s.w.t. :
“ Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.
(Al-Baqarah : 228)
Perkataan quru’ berarti suci dan berarti haidl sendiri. Maka datang hadits yang
menerangkan “.
طلاق الامة ثنتان و عدتها حيضتان .
“Thalaq budak dua kali dan iddahnya dua haidl”
Dan seperti lafadz ‘ain . Dia bermakna : mata, mata air dan bermakna zat
sesuatu.
Kata An-Nawawy dalam Tahziebul Asma’i : “Lafadh ‘ain, dipersekutukan pada
banyak makna. Dia bermakna : mata (pancaindera lihat), mata air, mata-mata,
hujan yang terus-menerus turun, mata uang dinas, zat sesuatu barang dan ketua
dari sesuatu golongan”.
Keterangan yang serupa ini yakni bayan mujmal, boleh bersambungan dengan ayat
yang dijelaskan, boleh bercerai, boleh pula datang di belakang, atau sama-sama
datangnya. Akan tetapi tak boleh ditelatkan hingga waktu dilaksanakan pekerjaan
itu.
Mengenai takhshish ‘am, maka dia tidak boleh datang terlambat dari ‘am itu.
Ke dalam bayan tafsier ini, masuk bayan mujmal-bayan musytarak (yakni bayan
tafsier bagi mujmal dan bayan tafsier bagi musytarak) dan bayan takhshish (
menerangkan sesuatu yang tidak dimaksudkan dari umum) .
Perbedaan antara bayan mujmal, bayan musytarak dengan bayan takhshish, ialah :
Bayan mujmal berarti menerangkan : Tafsier atau tafsiel, atau ta’yien. Adapun
bayan takhshish, maka ia suatu penjelasan ditinjau dari suatu sudut dan suatu
pertentangan ditinjau dari sudut yang lain.
3. Bayan Tabdiel, bayan nasakh, yakni : “Mengganti sesuatu hukum, atau
menasakhkannya”.
Menasakhkan Al-Qur’an dengan Al-Qur’an menurut ulama ahlul ra’yi, boleh.
Menasakhkan Al-Qur’an dengan As-Sunnah, boleh; kalau As-Sunnah itu mutawatir,
masyhur, atau mustafidl.
Mengkhususkan umum Al-Qur’an dengan hadits, mereka tidak membolehkannya;
terkecuali kalau hadits itu mutawatir atau masyhur.
Abu Haniefah berpendapat, bahwa : ‘am yang disepakati menerimanya lebih utama
kita amalkan daripada khash yang diperselisihkan menerimanya.
Demikian pendapat Abu Haniefah menurut penjelasan Kasyful Asrar.
Karena itu, Abu Haniefah memegangi umum hadits :
ماسقته السماء ففيه العشر .
“Apa yang disiraminya oleh hujan, maka padanya satu persepuluh”.
Beliau mendahulukan hadits atas hadits :
ليس فيما دون خمسة اوسق صدقة .
“Tak ada pada yang kurang dari lima wasaq, zakatnya”.
B. Malik berpendirian, bahwa bayan Al-hadits itu terbagi kepada :
1) Bayan Taqrier, yaitu : menetapkan dan mengokohkan hokum-hukum Al-Qur’an;
bukan mentaudliehkan, bukan mentaqyidkan mutlaq dan bukan mentakhshiskan ‘am,
seperti :
صوموا لرؤيته و افطروا لرؤيته.
“Berpuasalah kamu sesudah melihat bulan dan berbukalah kamu sesudah
melihatnya”.
2) Bayan Taudlieh (Tafsir), yaitu : menerangkan maksud-maksud ayat, seperti :
hadits-hadits yang menerangkan maksud-maksud ayat yang difahamkan oleh para
sahabat berlainan dengan yang dimaksudkan oleh ayat sendiri. Contohnya :
“Dan segala mereka yang membendaharakan emas dan perak dan mereka tidak
membelanjakan pada jalan Allah, maka gembirakanlah mereka dengan azab yang amat
pedih”. (Q.S. At-Taubah : 34)
Manakala ayat ini diturunkan, para sahabat merasa sangat berat melaksanakan
kandungan ayat. Mereka bertanya kepada Nabi s.a.w., maka Nabi menjawab : “Allah
tidak memfardlukan zakat, melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang
sudah kamu zakati “. Mendengar itu Umar r.a. mengucapkan takbir.
3). Bayanut Tafshil, yaitu : menjelaskan mujmal Al-Qur’an, sebagai hadits yang
mentafshilkan kemujmalan firman Allah :
اقيمواالصلوة
.
“Dirikanlah olehmu akan sholat”.
4). Bayanul basthy (tabsiet bayan takwiel), yakni : memanjangkan keterangan
bagi apa yang diringkaskan keterangannya oleh Al-Qur’an, seperti ayat :
“Dan atas tiga orang yg tidak mau pergi, yang tinggal di tempat, tidak turut
pergi ke medan peperangan”. ( Q.S. At-Taubah : 118 )
Kisah yang dimaksudkan oleh Ayat ini telah direntang panjang oleh hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Bukhary, Muslim, Abu Dawud, An Nasa’I, At-Tirmidzy, dan
Ibnu Majah dengan mensyarahkan sebab Nabi s.a.w. menegah orang yang berbicara
dengan orang yang ketiga itu.
Masuk ke dalam bayan taudlieh, menentukkan salah satu kemuhtamilan, mengqaidkan
yang mutlak dan mentakhshiskan yang umum.
Malik dalam soal ini (soal mentakhshiskan Ayat dengan hadits ahad) dekat
pendiriannya Ahlul ra’yi.
Menurut Ibnu Qutaibah dalam Al Ma’rifah, Malik dimasukkan ke dalam golongan
ahlur ra’yi.
Beliau mendahulukan Sunnah di ketika dikuatkan Sunnah itu oleh Qiyas dan ‘amal
ahli madinah. Kalau demikian barulah Sunnah dipandang mentakhshiskan Al-Qur’an
dan mentaqyidkannya.
Malik menolak hadits yang mengharamkan segala burung yang bercakar karena
berlawanan dengan dhahir Al-Qur’an.
“Katakanlah olehmu : Aku tiada mendapati di dalam wahyu yang telah diturunkan
kepadaku, makanan yang diharamkan, untuk seseorang memakannya, selain daripada
bangkai, darah yang terpencar,daging babi”, dia itu kotor, dan yang disembelih
untuk yang selain Allah. (Q.S. al-An’am : 145 )
Beliau mendla’ifkan hadits; karena berlawanan dengan umum ayat ini. Tapi beliau
mengharamkan juga binatang buas dan yang bertaring, karena yang demikian
dikuatkan oleh amalan ahli Madinah, padahal dhahir ayat menghalalkannya.
Malik menolak hadits, menurut uraian Asy Syathiby dalam Al Muwafaqat, apabila
menyalahi Al-Qur’an, atau dasar yang qat’i, atau dasar yang umum. Karena itu,
beliau menolak hadits :
من مات و عليه صيام , صام عنه وليه .
“Barang siapa mati dan atasnya ada puasa, dipuasakan untuknya oleh walinya”.
Sebagaimana beliau menolak pula hadits yang menerangkan, bahwa anak boleh
mengerjakan haji untuk orang tuanya; karena berlawanan dengan Ayat :
“Dan bahwa tak ada bagi manusia, melainkan apa yang ia telah usahakan”
(Q.S. An-Najm : 39)
Dan Malik menolak hadits jilatan anjing dengan alasan, bahwa hadits itu
berlawanan dengan dua dasar yang umum :
Pertama, firman Allah s.w.t. :
“Maka makan olehmu dari apa (binatang) yang dipegang oleh anjing-anjing itu
untukmu”. (Q.S. Al-Maidah : 4)
Kedua, Illat suci binatang, ialah : hidupnya. Hidup itu terdapat pada anjing.
5) Bayan Tasyrie’, yakni : mewujudkan sesuatu hokum yang tidak tersebut dalam
Al-Qur’an, seperti menghukum dengan bersandar pada seorang saksi dan sumpah
apabila simudda’i tiada mempunyai dua orang saksi; dan seperti ridla’
mengharamkan pernikahan mengingat hadits :
يحرم من الرضاعة مايحرم من النسب .
“Haram lantaran ridla’ apa yang haram lantaran nasab(keturunan)”.
Sebagian Ulama berpendapat, bahwa segala hukum yang dilengkapi Sunnah, kembali
kepada Al-Qur’an, tidak ada yang berdiri sendiri.
C. AsySyafi’y di antara ulama ahlil atsar menetapkan, bahwa penjelasan
Al-Hadits terhadap Al-Qur’an terbagi lima, yaitu :
1) Bayan Tafshiel, yaitu menjelaskan ayat-ayat yang mujmal (yang sangat ringkas
petunjuknya)
2) Bayan Takhshish, yaitu menentukkan sesuatu dari umum ayat.
3) Bayan Ta’yin, yaitu menentukan mana yang dimaksud dari dua tiga perkara yang
mungkin dimaksudkan.
4) Bayan Tasyri’, yaitu menentukan sesuatu hukum yang tidak didapati dalam
Al-Qur’an.
5) Bayan Nasakh, yaitu menentukan mana yang dinasikhkan dan mana yang
dimansukhkan dari ayat-ayat Al-Qur’an yang kelihatan berlawanan.
13
D. Ahmad ibn Hanbal dalam soal ini sepaham dengan gurunya Asy-Syafi’y, bahkan
lebih keras lagi pendiriannya dalam menentukan garis-garis penerangan
As-Sunnah.
Ibnul Qaiyim telah menerangkan pendapat Ahmad dalam soal ini dalam kitabnya
I’lamul Muwaqqi’ien, sebagai berikut :
Keterangan As-Sunnah terhadap Al-Qur’an terbagi tiga :
1) Bayan Ta’kied (bayan taqrier), yaitu di kala As-Sunnah itu bersesuaian benar
petunjuknya dengan petunjuk Al-Qur’an, yakni menerangkan apa yang dimaksudkan
oleh Al-Qur’an.
2) Bayan tafsier, yaitu menjelaskan sesuatu hukum Al-Qur’an, yakni
menerangkan apa yang dimaksudkan oleh Al-Qur’an.
3) Bayan Tasyrie’, yaitu Mendatangkan sesuatu hukum yang didiamkan Al-Qur’an (
yang tidak diterangkan hukumnya)
4) Bayan Takhshish dan Taqyid, yakni mengkhususkan Al-Qur’an dan
mengqaidkannya. Apabila didapati hadits yang mengkhususkan Al-Qur’an,
dikhususkanlah umum itu, baik hadits yang mengkhususkan itu mutawatir, masyhur,
mustafidl ataupun ahad.
Tegasnya, Sunnah itu , menurut pendapat Ahmad, mentakhshiskan Al-Qur’an,
mengqaidkannya dan mentafshilkannya. Ringkasnya, Ahmad berpendapat, bahwa As
Sunnah mentafsirkan dhahir Al-Qur’an dan bahwa hadits ahad itu dapat mentakhshiskan
Al-Qur’an.
Rabu, 10 April 2013
AL-BAYAN
22.09
Unknown
No comments
0 komentar:
Posting Komentar