Jumat, 19 April 2013

As-Sunnah

I.            RUMUSAN MASALAH
1.      Pengertian As Sunnah
2.      Pembagian Sunnah
3.      Kehujahan As-sunnah
4.      Kedudukan Sunnah Terhadap Al-Qur’an


 III.            PEMBAHASAN

Pengertian As Sunnah
            Sunnah secara etimologi berarti cara yang dibiasakan  atau cara yang terpuji, sunnah lebih umum disebut dengan hadis yang mempunyai beberapa arti secara etimologis, yaitu Qarib, artinya dekat, jadid artinya baru, dan khabar artinya berita atau warta.
            Dari beberapa arti tersebut, yang sesuai dengan pembahasan ini adalah hadis dalam arti khabar, seperti tersebut dalam firman Allah SWT. Surat At-Tur: 34.
(#qè?ù'uù=sù ;]ƒÏpt¿2 ÿ¾Ï&Î#÷WÏiB bÎ) (#qçR%x. šúüÏ%Ï»|¹ ÇÌÍÈ  
Artinya:
“Maka hendaklah mereka mendatangkan kalimat yang semisal Al-Qur’an itu jika mereka orang-orang yang benar”
                                                                                                                        (QS. Ath-Thur: 34)
            Dalam hadis Nabi SAW. kata hadis dipakai dengan arti khabar, terdapat dalam sabdanya:
يُوْشِكُ اَحَدُ كُمْ اَنْ يَقُوْلَ هَذَا كِتَابُ اللهِ مَاكَانَ فِيْهِ مَنْ  حَلاَلٍ اَحْلَلْنَاهُ وَمَاكَانَ فِيْهِ مِنْ حَرَامٍ حَرَّمْنَاهُ اِلامَنْ بَلَغَهُ عَنى حَدِيْث فَكَذَبَ بِهِ فَقَدْ كَذَبَ ثَلَاثَةٌ اللهُ وَرَسُوْلُهُ وَالِّذِيْ حَدَّثَ بِه. (رواه احمد والدارمى)
Artinya:
“Hampir-hampir akan ada seseorang di antara kamu yang akan berkata, “Ini Kitab Allah. Apa yang halaldi dalamnya kami halalkan Dan apa yang haram di dalamnya kami haramkan.” Ketauhilah barang siapa sampai kepadanya suatu ‘khabar’ dari aku, ‘lalu ia dustakan berarti ia telah mendustakan tiga orang’ dia mendustakan Allah, mendustakan Rosul-Nya, dan mendustakan orang yang menyampaikan berita itu.’’
            Menurut ulama ushul fiqih, sunah di artikan:
مَا صَدَرَ عَنِ النَّبِيَّ ص. م. غَيْرُ الْقَرْأَنِ مِنْ قَوْلٍ اَوْ فِعْلٍ اَوْ تَقْرِيْرٍ .
Artinya:
Semua yang lahir dari Nabi SAW. selain Al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan, ataupun pengakuan.”
Jelasnya, setiap perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi SAW. yang berkaitan dengan hukum di namakan hadis.
            Adapun sunah menurut para ahli fiqih, di samping mempunyai arti seperti yang di kemukakan para ulam ushul fiqih,juga di maksudkan sebagai salah satu hukum taklif yang mengandung pengertian, “Perbuatan yang apabila di kerjakan mendapat pahala dan bila di tinggalkan tidak berdosa.”
            Dari beberapa pengertian di atas, tampak bahwa sunah/hadis menurut ulama ahli hadis itu mempunyai pengertian lebih luas daripada menurut ulama ahli ushul. Ulama ahli hadis memandang bahwa semua yang datang dari Nabi SAW. (perkataan, perbuatan, dan taqrir) baik yang berkaitan dengan hukum atau tidak. Sedangkan menurut ulama ahli ushul hanya terbatas pada sesuatu yang berkaitan dengan hukum. Di luar hukum bukan di namakn hadis, seperti cara berpakaian, cara makan, dan sebagainya.
Pembagian Sunnah
            Sunah atau hadist berdasarkan definisi menurut para ahli diatas, dapat dibedakan menjadi Qauliyah, Fi’liyah, dan taqririyah.
1.      Sunah Qauliyah, yang sering dinamakan juga dengan khabar atau berita berupa perkataan Nabi SAW. Yang didengar dan disampaikan oleh seorang atau beberapa sahabat kepada orang lain, seperti sabda Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah:
لَاصَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَءْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
Artiya:
“Tidak sah shalat seseorang  yang tidak dapat membaca surat Al-Fatihah.”
Dalam hadist lain, Nabi SAW. Bersabda :
اِنَّمَا اْلَاعْمَالُ بِالنِّيَاتِ وَاِنَّمَالِكُلِّ امْرِئٍ مَانَوَى
Artinya:
“Setiap amal perbuatan itu bergantung kepada niat. Dan segala sesuatu itu menurut niatnya.”
            Sunnah Qauliyah dapat dibedakan atas tiga bagian:
a.       Diyakini benarnya, seperti kabar yang datang dari Allah dan dari Rasul-Nya yang diriwayatkan oleh orang-orang yang dapat dipercayai dan kabar-kabar mutawatir.
b.      Diyakini dustanya, seperti dua kabar yang berlawanan dan kabar yang menyalahi dari ketentuan-ketentuan syara’, seperti bid’ah-bid’ah sayyi’ah.
c.       Yang tidak diyakini kebenaranya dan dustanyayang terdiri atas 3 macam:
a)      Tidak kuat benarnya dan tidak pula dustanya, seperti berita yang disampaikan oleh orang bodoh.
b)      Kabar yang kuat dustanya dari benarnya, seperti yang disampaikan oleh orang fasik (yakni orang yang mengakui peraturan-peraturan islam, tetapi tidak mengindahkanya)
c)      Kabar yang kuat benarnya dari dustanya, seperti kabar yang disampaikan oleh orang yang adil (dipercayai)
2.      Sunah Fi’liyah, yaitu setiap perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW. Yang diketaui dan disampaikan oleh para sahabat kepada orang lain. Misalnya, cara wudhu yang dipraktekkan Nabi SAW., tata cara shalat, dan haji.
Sunah Fi’liyah terbagi menjadi 5 bentuk, yaitu:
a.       Nafsu yang terkendalikan oleh keinginan dan gerakan kemanusiaan, seperti gerakan anggota badan dan gerak badan; Sunah Fi’liyah seperti ini menunjukkan mubah (boleh).
b.      Sesuatu yang tidak berhubungan dengan ibadah, seperti berdiri, duduk, dan lain-lain.
c.       Perangai yang membawa kepada syara’ menurut kebiasaan yang baik dan tertentu, seperti makanan , minuman, berpakaian dan tidur.
Seperti hadis Nabi SAW. Berikut ini:
كَانَ النَّبِيُّ ص.م. يَأْكُلُ خُبْزَ السَّعِيْرَ غَيْرَ صَنْخُوْلٍ (رواه البخارى)
Artinya:
“Nabi memakan roti dari tepung gandum yang belum diayak.”(HR. Bukhori).
Hadist Nabi SAW. yang lain seperti:
كَانَ النَّبِيُّ ص.م. يَلْبَسُ قَمِيْصًا فَوْقَ الْكَعْبَيْنِ (رواه الحاكم)
Artinya:
“Adalah Nabi Memakai bajunya di atas dua mata kaki.” (HR. Hakim)
d.      Sesuatu yang tertentu kepada Nabi saja, seperti beristeri lebih dari empat orang.
e.       Untuk menjelaskan hukum-hukum yang mujmal (samar-samar), seperti menjelaskan perbuatan haji dan umrah; perbuatan-perbuatan shalat yang lima waktu (fardu) dan shalat khusuf (gerhana).
3.      Sunah Taqririyah, yaitu perbuatan atau ucapan sahabat yang dilakukan di hadapan atau sepengetahuan Nabi SAW., tetapi Nabi hanya diam dan tidak mencegahnya. Sikap diam dan tidak mencegah menunjukkan persetujuan Nabi SAW. Misalnya, kasus Amr ibn Al-Ash yang berada dalam keadaan junub (wajib mandi) pada suatu malam yang sangat dingin. Ia tidak sanggup mandi karena khawatir akan sakit. Amr ibn Al-Ash ketika itu hanya bertayamum. Lalu hal ini disampaikan kepada Rasulullah SAW. Rasulullah kemudian bertanya kepada Amr ibn  Al-Ash, “Engkau melaksanakan shalat bersama-sama teman engkau, sedangkan engkau dalam keadaan junub?” Amr ibn Al-Ash menjawab, “Saya ingat firman Allah Ta’alayang menggatakan, ‘Jangan kamu membunuh diri kamu, sesungguhnya Allah itu maha pengasihlagi maha penyayang’, lalu saya bertayamumdan langsung shalat”. Mendengar jawaban Amr ibn Al-Ash ini Rasulullah SAW. Tertawa dan tidak berkomentar apapun (HR.Ahmad ibn Hambal dan Al-Baihaqi).
Tidak berkomentarnya Rasulullah SAW. Dipandang sebagai pengakuan bolehnya bertayamum bagi orang yang junub dalam keadan hari yang sangat dingin; sekalipun ada air untuk mandi.[1]

Kehujahan As-sunnah
            Seluruh kaum muslimin telah bulat pendapatnya bahwa sabda, perbuatan dan taqrir Rosulullah SAW. yang dimaksudkan sebagai undang-undang dan pedoman hidup ummat yang harus diikuti dan yang sampai kepada kita dengan sanad (sandaran) yang shahih, hingga memberikan keyakinan yang pasti atau dugaan yang kuat bahwa hal itu datangnya dari Rasulullah, adalah sebagai hujjah bagi kaum muslimin dan sebagai sumber syari’at tempat para mujtahid mengeluarkan hukum-hukum syara’.
Hukum-hukum yang dipetik dari as-sunnah wajib ditaati sebagaimana hukum-hukum yang diistimbatkan dari Al-Qur’an.
            Adapun dalil-dalil yang menetapkan bahwa as-sunnah menjadi hujjah bagi kaum muslimin sebagai sumber hukum ialah:
            Pertama, Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an banyak terdapat ayat-ayat yang memerintahkan kaum muslimin agar mentaati Rasulullah SAW. dengan ungkapan berbeda-beda.
Misalnya firman Tuhan:
ö@è% (#qãèÏÛr& ©!$# š^qߧ9$#ur ( bÎ*sù (#öq©9uqs? ¨bÎ*sù ©!$# Ÿw =Ïtä tûï͍Ïÿ»s3ø9$# ÇÌËÈ  
32. Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir". (al-Imran: 32)
Di dalam surat an-Nisa’: 80, Tuhan menjelaskan bahwa taat kepada Rasulullah SAW. adalah sama dengan taat kepada Allah,firman-Nya.
`¨B ÆìÏÜムtAqߧ9$# ôs)sù tí$sÛr& ©!$# ( `tBur 4¯<uqs? !$yJsù y7»oYù=yör& öNÎgøŠn=tæ $ZàŠÏÿym ÇÑÉÈ  
80. Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka[321]. (an-Nisa’: 80)
[321] Rasul tidak bertanggung jawab terhadap perbuatan-perbuatan mereka dan tidak menjamin agar mereka tidak berbuat kesalahan.
Di tempat lain Tuhan mencela orang mu’min dan mu’minah yang mengadakan pilihan menurut pendapatnya sendiri, padahal Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan ketentuanya, firman-Nya:
$tBur tb%x. 9`ÏB÷sßJÏ9 Ÿwur >puZÏB÷sãB #sŒÎ) Ó|Ós% ª!$# ÿ¼ã&è!qßuur #·øBr& br& tbqä3tƒ ãNßgs9 äouŽzÏƒø:$# ô`ÏB öNÏd̍øBr& 3 `tBur ÄÈ÷ètƒ ©!$# ¼ã&s!qßuur ôs)sù ¨@|Ê Wx»n=|Ê $YZÎ7B ÇÌÏÈ  
36. dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata. (al-Ahzab: 36)
Ayat-ayat tersebut, biarpun dengan ungkapan yang berbeda-beda, tetapi mafhumnya sama, adalah sebagai bukti bahwa apa yang disyari’atkan oleh Rasulullah SAW., juga syari’at ilahi yang wajib ditaati oleh seluruh kaum muslimin.
            Kedua, as-sunnah. Tidak sedikit jumlah hadist-hadist Rasulullah SAW., yang memerintahkan agar kaum muslimin selalu berpegang kepada sunnah Rasulullah. Antara lain hadist Abu Najih al-Irbadh bin sariyah ra. Yang menceritakan:
وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ (صلى الله عليه وسلم) مَوْعِظَة وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُوْنُ, فَقُلْنَا: يَارَسُوْلَ اللهِ كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ, فَأَوْصِنَا, قَالَ: أَوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ, وَإِنَّهُ مَنْ يَعْشِ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اِخْتِلَا فًاكَثِيْرًا, فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ خُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِيْنَ, عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ, وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَ ثَاتِ الْاُمُوْرِ, فَإِنْ كُلُّ مُحْدَ ثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِى النَّارِ
(رواه احمد وغيره)
            “Rasulullah SAW. memberikan nasihat kepada kita dengan suatu nasihat yang menggetarkan hati dan mencucurkan air mata. Kami bertanya: “Hai rasulullah, nampaknya nasihat itu nasihat (pamitan) terakhir. Karena itu beri nasihatlah kita! Sebab beliau: “Aku nasihatkan kepadamu agar kamu taqwa kepada Allah, taat dan patuh, biarpun seorang hamba sahaya memerintah kamu. Sungguh orang yang hidup lama (berumur panjang) diantara kamu nanti bakal mengetaui adanya pertentangan-pertentangan yang hebat.
Artinya:
Oleh karena itu hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku, sunnah khulafa’ur-rasyidin yang pada mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah dengan taringmu! Jauhilah mengada-adakan perkara, sebab perkara yang diada-adakan itu adalah bid’ah. Padahal setipa bid’ah itu adalah tersesat dan setiap yang tersesat itu di neraka. (RW. Ahmad dan lainnya)
            Jelaslah kiranya hadist tersebut memerintahkan kepada kaum muslimin agar berpegang kepada sunnah Rasulullah SAW. dan sunnah pada khulafa’ur-rasyidin yang mendapat petunjuk dari sunnah Nabi.
            Ketiga, ijma’us sahabat. Para sahabat pada waktu Rasulullah SAW. masih hidup selalu mengikuti segala sesuatu yang diperintahkan oleh beliau dan menjahui segala sesuatu yang dilarangnya dengan tidak membedakan antara kewajiban-kewajiban taat kepada hukum-hukum yang diwahyukan Tuhan didalam Al-Qur’an dan hukum-hukum yang ditetapkan oleh beliau sendiri. Setelah Rasulullah meninggal dunia, maka apabila merekatidak mendapatkan hukum-hukum dari Al-Qur’an, mereka lalu meneliti hadist-hadist Rasulullah yang dihafal oleh para sahabat. Abu Bakar ra. Misalnya, apabila beliau tidak mengigat sunnah yang berhubungan dengan suatu kejadian, beliau lalu menanyakan kepada salah seorang sahabat barangkali dia ingat sunnah Rasulullah dari hal yang dimaksudkan. Lalu kepada sahabat yang lain, bila sahabat yang pertama tidak ingat. Kemudian kejadian tersebut ditetapkan hukumnya menurut sunnah yang disampaikan oleh sahabat kepada beliau. Umar bin khatthab ra. Sahabat-sahabat yang lain dan para tabi’in kemudian menurut jejak Abu Bakar itu, dan tidak ada seorang pun diantara mereka yang mengikuti bahwa sunnah Rasulullah SAW. wajib diikuti.
            Keempat, logika. Al-qur’an membani beberapa kewajiban kepada manusia pada umumnya adalah secara global, yakni tidak diperinci dengan sejelas-jelasnya, baik mengenai cara-cara melaksanakannya maupun syarat-syarat yang diperlukan untuk melaksanakannya. Misalnya dalam memerintahkan menjalankan shalat, melakukan puasa dan menunaikan ibadah haji, Al-qur’an tidak menerangkan bagaimana cara-cara melaksanakan dan syarat-rukun apa yang diperlukannya dan dalam mewajibkan membayar zakat, Al-qur’an pun tidak menjelaskan macam-macam harta yang wajib dizakatkan dan beberapa besarnya zakat untuk tiap-tiap kesatuan harta yang wajib dizakatkan. Akan tetapi Rasulullah SAW kemudian menjelaskan kemujmalan (masih global) itu dengan sunnah qauliyahnya atau atau sunnah fi’liyahnya. Karena beliau telah dianugerahi kekuasaan oleh Tuhan untuk menjelaskan Al-qur’an.
Firman Tuhan :
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ    
44. keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka[829] dan supaya mereka memikirkan, (an-Nahl: 44)
[829] Yakni: perintah-perintah, larangan-larangan, aturan dan lain-lain yang terdapat dalam Al Quran.
            Andaikata sunnah itu bukan merupakan hujjah bagi kaum muslimin dan undang-undang yang mereka taati, niscaya mereka tidak akan dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan oleh Tuhan di dalam Al-qur’an dengan seksama. Oleh karena itu logislah kiranya bahwa sunnah itu menjadi sumber hukum sesudah Al-qur’an.

Kedudukan Sunnah Terhadap Al-Qur’an
            Sunnah berfungsi menopang Al-qur’an dalam menjelaskan hukum-hukum Islam. Bentuk penopang dapat dirumuskan ke dalam tiga hal sebagai berikut:
            Pertama, sunnah berfungsi menjelaskan ayat yang masih mubham; merinci ayat yang mujhal;mentakhsis ayat Al-qur’an yang umum – meski kekuatan Sunnah dalam mentakhisis ayat Al-qur’an yang umum masih diperselisikan ulama; dan menjelaskan antara ayat yang nasikh dan yang mansukh – menurut jumhur ulama yang berpendapat adanya kemunkinan nasakh pada sebagian hukum-hukum Al-qur’an.
            Kedua, Sunnah menambah kewajiban-kewajiban syara’ yang ketentuan pokoknya telah ditetapkan dengan nash Al-qur’an. Misalnya, Sunnah datang dengan membawa hukum-hukum tambahan yang menyempurnakan ketentuan-ketentuan pokok tersebut.
            Ketiga, Sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam Al-qur’an; tidak pula merupakan tambahan terhadap nash Al-qur’an.
            Demikianlah macam-macam hukum yang dibawa oleh Sunnah. Itu pun di luar ketentuan Sunnah yang menyangkut hukum-hukum taqririyah yang bukan merupakan hukum tambahan, dimana masalah tersebut telah kami uraikan ketika membicarakan Al-qur’an Al-karim.
            Dan oleh karena itu Allah SWT. menjadikan Al-qur’an sebagai penjelas terhadap segala sesuatu, maka sebagai konsekuensi logisnya Sunnah secara keseluruhan sedah pasti tercakup di dalamnya. Sebab perintah dan larangan merupakan inti dari apa yang terkandung di dalam Al-qur’an. Sebagai bukti/contoh, firman Allah SWT:
$¨B $uZôÛ§sù Îû É=»tGÅ3ø9$# `ÏB &äóÓx« 4
Artinya:
Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab[472],

[472] Sebahagian mufassirin menafsirkan Al-Kitab itu dengan Lauhul mahfudz dengan arti bahwa nasib semua makhluk itu sudah dituliskan (ditetapkan) dalam Lauhul mahfudz. dan ada pula yang menafsirkannya dengan Al-Quran dengan arti: dalam Al-Quran itu telah ada pokok-pokok agama, norma-norma, hukum-hukum, hikmah-hikmah dan pimpinan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat, dan kebahagiaan makhluk pada umumnya.[2]


 IV.            KESIMPULAN







DAFTAR PUSTAKA
Yahya, Mukhtar. Rahman, Fatchur, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh-Islami, Bandung: PT. Alma’arif, 1986.
Zahra, Muhammad Abu, Ushul Fiqih, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995.
Uman, Chaerul, Ushul Fiqh 1, Bandung: CV Pustaka Setia, 1998



[1] Drs. Chaerul Uman, Ushul Fiqh 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), Hlm. 59
[2] Prof. Muhammad Abduh Zahrah, Ushul Fiqh, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995), Hlm. 161

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | SharePoint Demo