HUKUM ORANG YANG MENINGGALKAN
SHALAT
Oleh :
SYEIKH
MUHAMMAD BIN SHALEH AL UTSAIMIN
Penerjemah:
MUHAMMAD YUSUF
HARUN, MA.
Editor :
DR.Muh.Mu’inudinillah
Basri,MA
Bakrun Syafi'i
Yahya ,MA
Muhammadun Abd.Hamid ,MA.
Fir'adi Nasruddin,Lc
حكم تارك الصلاة
تأليف :
الشيخ محمد بن صالح العثيمين (رحمه
الله)
ترجمة :
محمد يوسف هارون
مراجعة :
د. محمد معين دين الله بصري
بكرون شافعي يحي
محمدون عبدالحميد
فيرعادي نصر الدين أبو جعفر
PENDAHULUAN
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ
وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَتُوْبُ إِلَيْهِ، وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ
شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ
مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ
إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ
وَرَسُوْلُهُ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ
تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلىَ يَوْمِ الدِّيْنَ. أَمَّا بَعْدُ :
Segala pujian hanya milik
Allah Ta'ala kita memuji-Nya,meminta pertolongan,memohonkan ampunan dan
bertaubat kepada-Nya.Kita memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan
jiwa-jiwa kita dan dari keburukan amalan-amalan yang telah kita perbuat.Barang
siapa yang telah mendapatkan hidayah Allah,maka tak seorangpun yang dapat
menyesatkan jalannya dan sesiapa yang telah disesatkan-Nya maka tiada
seorangpun yang mampu memberikan sinar petunjuk kepadanya.
Saya bersaksi bahwasannya tiada Ilah
yang berhak disembah melainkan Allah semata,tiada sekutu bagi-Nya,dan saya
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba Allah dan utusan-Nya,semoga shalawat dan
salam Allah sentiasa tercurahkan kepada beliau,keluarga dan sahabat-sahabatnya
dan siapa yang mengikutinya dengan baik hingga akhir zaman,amiiin.
Wa ba'du :
Sungguh, banyak diantara kaum
muslimin sekarang ini yang meremehkan masalah shalat dan melalaikannya, dan bahkan
ada yang meninggalkannya sama sekali, karena menganggapnya hal yang sepele.
Oleh karena masalah ini termasuk
salah satu masalah besar, yang melanda umat pada saat ini, dan menjadi ajang
perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan para imam mazhab dari dulu hingga
kini, maka penulis ingin memberikan sumbangsihnya dalam permasalahan tersebut
melalui tulisan yang sederhana ini.
Pembicaraan tentang masalah ini akan
diringkas dalam dua bahasan :
Pertama : hukum
orang yang meninggalkan shalat.
Kedua :
konsekwensi hukum karena riddah (keluar dari Islam), disebabkan karena
meninggalkan shalat, atau sebab lainnya.
Semoga Allah subhaanahu wa ta’aala
dengan taufiq-Nya menunjukkan kita semua kepada kebenaran.
1
HUKUM
ORANG YANG
MENINGGALKAN SHALAT
Masalah ini termasuk salah satu
masalah ilmu yang amat besar, diperdebatkan oleh para ulama pada zaman dahulu
dan masa sekarang.
Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan : “Orang
yang meninggalkan shalat adalah kafir, yaitu kekafiran yang menyebabkan orang
tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat dan
tidak mengerjakan shalat.
Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i
mengatakan : “Orang yang meninggalkan shalat adalah fasik dan tidak kafir”,
namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik
dan Syafi’i “diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut Imam Abu
Hanifah “diancam hukuman ta’zir (diasingkan) , bukan hukuman mati”.
Apabila masalah ini termasuk masalah yang
diperselisihkan, maka yang wajib adalah dikembalikan kepada kitab Allah subhaanahu
wa ta’aala dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
karena Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :
{ وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ
فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ }
“Tentang sesuatu apapun yang kamu
perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah.”. (QS. As
Syura, 10).
Dan Allah juga berfirman :
{ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ
وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ
خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً }
“Jika kamu belainan pendapat tentang
sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah),
jika kamu benar benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”.
( QS. An Nisa’, 59 ).
Oleh karena masing masing pihak yang berselisih pendapat,
ucapannya tidak dapat dijadikan hujjah terhadap pihak lain, sebab masing masing
pihak menganggap bahwa dialah yang benar, sementara tidak ada salah satu dari
kedua belah pihak yang pendapatnya lebih patut untuk diterima, maka dalam
masalah tersebut wajib kembali kepada juri penentu diantara keduanya, yaitu Al
Qur’an dan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kalau kita kembalikan perbedaan pendapat ini kepada Al
Qur’an dan As Sunnah, maka akan kita dapatkan bahwa Al Qur’an maupun As Sunnah
keduanya menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan
kufur akbar yang menyebabkan ia keluar dari islam.
Pertama : Dalil
dari Al-Qur'an :
Allah subhaanahu wa ta’aala
berfirman dalam surat
At Taubah ayat 11 :
{
فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي
الدِّينِ }
“Jika mereka bertaubat,
mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara
saudaramu seagama”.
(QS.
At Taubah; 11).
Dan dalam surat Maryam ayat 59-60 , Allah berfirman :
{ فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ
وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا , إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ
وَعَمِلَ صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ شَيْئًا
}
“Lalu datanglah sesudah mereka
pengganti (yang jelek) yang menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa
nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang
bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan
tidak akan dirugikan sedikitpun”. (QS. Maryam, 59-60).
Relevansi ayat kedua, yaitu yang
terdapat dalam surat
Maryam, bahwa Allah berfirman tentang orang orang yang menyia nyiakan shalat
dan memperturutkan hawa nafsunya :” kecuali orang yang bertaubat, beriman
…”. Ini menunjukkan bahwa mereka ketika menyia nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsu adalah tidak beriman.
Dan relevansi ayat yang pertama,
yaitu yang terdapat dalam surat
At Taubah, bahwa kita dan orang orang musyrik telah menentukan tiga syarat :
·
Hendaklah mereka
bertaubat dari syirik.
·
Hendaklah mereka
mendirikan shalat, dan
·
Hendaklah mereka
menunaikan zakat.
Jika mereka bertaubat dari syirik, tetapi tidak
mendirikan shalat dan tidak pula menunaikan zakat, maka mereka bukanlah saudara
seagama dengan kita.
Begitu pula, jika mereka mendirikan shalat, tetapi
tidak menunaikan zakat maka mereka pun bukan saudara seagama dengan kita.
Persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang atau tidak
ada, melainkan jika seseorang keluar secara keseluruhan dari agama ; tidak
dinyatakan hilang atau tidak ada karena kefasikan dan kekafiran yang sederhana
tingkatannya.
Cobalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa
ta’aala dalam ayat qishash karena membunuh :
{ َمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ
بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ }
“Maka barang siapa yang diberi maaf oleh
saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik (pula)”. (QS. Al Baqarah, 178).
Dalam ayat ini, Allah subhaanahu wa ta’aala
menjadikan orang yang membunuh dengan sengaja sebagai saudara orang yang
dibunuhnya, padahal pidana membunuh dengan sengaja termasuk dosa besar yang
sangat berat hukumannya, Karena Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :
{ وَمَن يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ
خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا
عَظِيمًا }
“Dan
barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah
neraka jahannam, kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya
serta menyediakan azab yang besar baginya”. (QS. An Nisa’, 93).
Kemudian
cobalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala tentang dua
golongan dari kaum mu’minin yang berperang :
{ وَإِن طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الأُخْرَى
فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ فَإِن فَاءَتْ
فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
الْمُقْسِطِينَ , إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ
أَخَوَيْكُمْ }
“Dan jika ada dua golongan dari
orang orang mu’min berperang, maka damaikanlah antara keduanya, jika salah satu
dari dua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali
(kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduannya dengan adil dan
berlaku adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang berbuat adil,
sesungguhnya orang orang mu’min adalah bersaudara, karena itu damaikanlah
antara kedua saudaramu…”.
(QS.
Al Hujurat, 9).
Di sini Allah subhaanahu wa
ta’aala menetapkan persaudaraan antara pihak pendamai dan kedua pihak yang
berperang, padahal memerangi orang mu’min termasuk kekafiran, sebagaimana
disebutkan dalam hadits shaheh yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
periwayat yang lain, dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
" سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ
كُفْرٌ ".
“Menghina seorang Muslim adalah
kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”
Namun kekafiran
ini tidak menyebabkan keluar dari Islam, sebab andaikata menyebabkan keluar
dari islam maka tidak akan dinyatakan sebagai saudara seiman. Sedangkan ayat
suci tadi telah menunjukkan bahwa kedua belah pihak sekalipun berperang mereka
masih saudara seiman.
Dengan demikian
jelaslah bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran yang menyebabkan keluar
dari Islam, sebab jika hanya merupakan kefasikan saja atau kekafiran yang
sederhana tingkatannya (yang tidak menyebabkan keluar dari Islam) maka
persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang karenanya, sebagaimana tidak
dinyatakan hilang karena membunuh dan memerangi orang mu’min.
Jika ada pertanyaan
: Apakah anda berpendapat bahwa orang yang tidak menunaikan zakat pun dianggap
kafir, sebagaimana pengertian yang tertera dalam surat At Taubah tersebut ?
Jawabnya
adalah : Orang yang tidak menunaikan zakat adalah kafir, menurut pendapat
sebagian ulama, dan ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam
Ahmad rahimahullah.
Akan tetapi pendapat yang kuat
menurut kami ialah yang mengatakan bahwa ia tidak kafir, namun diancam hukuman
yang berat, sebagaimana yang terdapat dalam hadits hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, seperti hadits yang dituturkan oleh Abu Hurairah radhiallahu
‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan
hukuman bagi orang yang tidak mau membayar zakat, disebutkan dibagian akhir
hadits :
" ثُمَّ يَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلىَ
الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلىَ النَّارِ ".
“ … Kemudian ia akan melihat
jalannya, menuju ke surga atau ke neraka.”
Hadits ini diriwayatkan secara
lengkap oleh Imam Muslim dalam bab “dosa orang yang tidak mau membayar zakat”.
Ini adalah dalil yang menunjukkan
bahwa orang yang tidak menunaikan zakat tidak menjadi kafir, sebab andaikata ia
menjadi kafir, maka tidak akan ada jalan baginya menuju surga.
Dengan demikian manthuq (yang
tersurat) dari hadits ini lebih didahulukan dari pada mafhum (yang
tersirat) dari ayat yang terdapat dalam surat
At Taubah tadi, karena sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh
bahwa manthuq lebih didahulukan dari pada mafhum.
Kedua
: dalil dari As Sunnah :
1- Diriwayatkan
dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
" إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ
الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ ".
“Sesungguhnya
(batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah
meninggalkan shalat”.
(HR. Muslim, dalam kitab : Al-Iman) .
2- Diriwayatkan
dari Buraidah bin Al Hushaib radhiallahu ‘anhu, ia berkata : aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
" اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا
وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ ".
“Perjanjian
antara kita dan mereka adalah shalat, barang siapa yang meninggalkannya maka
benar benar ia telah kafir”.
(HR.Abu Daud, Turmudzi, An Nasai, Ibnu Majah dan Imam
Ahmad).
Yang
dimaksud dengan kekafiran di sini adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari
Islam, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan
shalat sebagai batas pemisah antara orang orang mu’min dan orang orang kafir,
dan hal ini bisa diketahui secara jelas bahwa aturan orang kafir tidak sama dengan
aturan orang Islam, karena itu, barang siapa yang tidak melaksanakan perjanjian
ini maka dia termasuk golongan orang kafir.
3- Diriwayatkan dalam shaheh Muslim, dari Ummu Salamah radliallahu
'anha, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
" سَتَكُوْنُ أُمَـرَاء ، فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِـرُوْنَ ،
فَمَنْ عَرَفَ بَرَئَ ، وَمَنْ أَنْكَـرَ سَلِمَ ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ
، قَالُوْا : أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ ؟ قَالَ : لاَ مَا صَلُّوْا ".
“Akan
ada para pemimpin, dan diantara kamu ada yang mengetahui dan menolak
kemungkaran kemungkaran yang dilakukan, barang siapa yang mengetahui bebaslah
ia, dan barang siapa yang menolaknya selamatlah ia, akan tetapi barang siapa
yang rela dan mengikuti, (tidak akan selamat), para sahabat bertanya : bolehkah
kita memerangi mereka ?, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :”
Tidak, selama mereka mengerjakan shalat.”
4- Diriwayatkan
pula dalam shaheh Muslim, dari Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu ia
berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
" خِيَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ
وَيُحِبُّوْنَكُمْ ، وَيُصَلُّوْنَ عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ ،
وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ
تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ ، وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ ،
قِيْلَ:
يَا رَسُـوْلَ اللهِ ، أَفَلاَ نُنَابِذُهُمْ
بِالسَّيْفِ ؟ قَالَ : لاَ ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ ".
“Pemimpin kamu yang terbaik ialah
mereka yang kamu sukai dan merekapun menyukai kamu, serta mereka mendo'akanmu
dan kamupun mendoakan mereka, sedangkan pemimpin kamu yang paling jahat adalah
mereka yang kamu benci dan merekapun membencimu, serta kamu melaknati mereka
dan merekapun melaknatimu, beliau ditanya : ya Rasulallah, bolehkan kita
memusuhi mereka dengan pedang ?, beliau menjawab :” tidak, selama mereka
mendirikan shalat dilingkunganmu.”
Kedua hadits yang terakhir ini menunjukkan bahwa boleh memusuhi
dan memerangi para pemimpin dengan mengangkat senjata bila mereka tidak
mendirikan shalat, dan tidak boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin,
kecuali jika mereka melakukan kakafiran yang nyata, yang bisa kita jadikan
bukti dihadapan Allah nanti, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ubadah
bin Ash Shamit radhiallahu ‘anhu :
دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم ، فَبَايَعْنَاهُ ، فَكَانَ
فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فَيْ
مَنْشَطِناَ وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِناَ وَيُسْرِنَا وَأَثْرَةٍ عَلَيْنَا ، وَأَنْ
لاَ نُنَازِعَ الْأَمْـرَ أَهْلَهُ ، قَالَ : إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا
بَوَّاحًا عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَان.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah mengajak kami, dan kamipun membaiat beliau, diantara bai’at
yang diminta dari kami ialah hendaklah kami membai’at untuk senantiasa patuh
dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun
kemudahan, dan mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan janganlah kami
menentang orang yang telah terpilih dalam urusan (kepemimpinan) ini, sabda
beliau :” kecuali jika kamu melihat kekafiran yang terang terangan yang ada
buktinya bagi kita dari Allah.”
Atas dasar ini,
maka perbuatan mereka meninggalkan shalat yang dijadikan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai alasan untuk menentang dan memerangi mereka
dengan pedang adalah kekafiran yang terang terangan yang bisa kita jadikan
bukti dihadapan Allah nanti.
*****
Tidak ada satu nash pun dalam Al
Qur’an ataupun As Sunnah yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat
itu tidak kafir, atau dia adalah mu’min. Kalaupun ada hanyalah nash-nash yang
menunjukkan keutamaan tauhid, syahadat “La ilaha Illallah wa anna Muhammad
Rasulullah”, dan pahala yang diperoleh karenanya, namun nash-nash tersebut
muqayyad (dibatasi) oleh ikatan-ikatan yang terdapat dalam nash itu sendiri,
yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu ditinggalkan, atau disebutkan
dalam suatu kondisi tertentu yang menjadi alasan bagi seseorang untuk
meninggalkan shalat, atau bersifat umum sehingga perlu difahami menurut dalil-dalil
yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, sebab dalil-dalil
yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat bersifat khusus,
sedangkan dalil yang khusus itu harus didahulukan dari pada dalil yang umum.
Jika ada pertanyaan : Apakah
nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat itu tidak
boleh diberlakukan pada orang yang meninggalkannya karena mengingkari hukum
kewajibannya ?
Jawab : Tidak boleh, karena
hal itu akan mengakibatkan dua masalah yang berbahaya :
Pertama : Menghapuskan
atribut yang telah ditetapkan oleh Allah
dan dijadikan sebagai dasar hukum.
Allah telah menetapkan hukum kafir
atas dasar meninggalkan shalat, bukan atas dasar mengingkari kewajibannya, dan
menetapkan persaudaraan seagama atas dasar mendirikan shalat, bukan atas dasar
mengakui kewajibannya, Allah tidak berfirman : ”Jika mereka bertaubat dan
mengakui kewajiban shalat”, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
pun tidak bersabda : ”Batas pemisah antara seseorang dengan kemusyrikan dan
kekafiran adalah mengingkari kewajiban shalat”, atau “perjanjian antara kita
dan mereka ialah pengakuan terhadap kewajiban shalat, barang siapa yang
mengingkari kewajibannya maka dia telah kafir”.
Seandainya pengertian ini yang
dimaksud oleh Allah subhaanahu wa ta’aala dan Rasul-Nya, maka tidak
menerima pengertian yang demikian ini berarti menyalahi penjelasan yang dibawa
oleh Al Qur’an.
Allah subhaanahu wa ta’aala
berfirman :
{
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ }
“Dan Kami turunkan kepadamu Al
Kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu …”. (QS. An
Nahl, 89).
{ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ }
“Dan Kami turunkan kepadamu Al
Kitab (Al Qur’an) agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah
diturunkan kepada mereka …”. (QS. An
Nahl, 44).
Kedua : Menjadikan atribut
yang tidak ditetapkan oleh Allah sebagai landasan hukum.
Mengingkari kewajiban shalat lima waktu tentu
menyebabkan kekafiran bagi pelakunya, tanpa alasan karena tidak mengetahuinya,
baik dia mengerjakan shalat atau tidak mengerjakannya.
Kalau ada seseorang yang mengerjakan
shalat lima
waktu dengan melengkapi segala syarat, rukun, dan hal-hal yang wajib dan
sunnah, namun dia mengingkari kewajiban shalat tersebut, tanpa ada suatu alasan
apapun, maka orang tersebut telah kafir, sekalipun dia tidak meninggalkan
shalat.
Dengan demikian jelaslah bahwa tidak
benar jika nash-nash tersebut dikenakan kepada orang yang meninggalkan shalat
karena mengingkari kewajibannya, yang benar ialah bahwa orang yang meninggalkan
shalat adalah kafir dengan kekafiran yang menyebabkannya keluar dari Islam,
sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam salah satu hadits riwayat Ibnu Abi
Hatim dalam kitab Sunan, dari Ubadah bin Shamit radhiallahu ‘anhu ia
berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat
kepada kita :
" لاَ تُشْرِكُوْا بِاللهِ شَيْئًا ،
وَلاَ تَتْرُكُوا الصَّلاَةَ عَمْدًا ، فَمَنْ تَرَكَهَا عَمْدًا مُتَعَمِّدًا
فَقَدْ خَرَجَ مَنَ الْمِلَّةِ ".
“Janganlah kamu berbuat syirik
kepada Allah sedikitpun, dan janganlah kamu sengaja meninggalkan shalat, barang
siapa yang benar-benar dengan sengaja meninggalkan shalat maka ia telah keluar
dari Islam”.
Demikian pula jika hadits ini kita
kenakan kepada orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya,
maka penyebutan kata “shalat” secara khusus dalam nash-nash tersebut
tidak ada gunanya sama sekali.
Hukum ini bersifat umum, termasuk zakat, puasa, dan
haji, barang siapa yang meninggalkan salah satu kewajiban tersebut karena
mengingkari kewajibannya, maka ia telah kafir, jika tanpa alasan karena tidak
mengetahui.
Karena orang yang meninggalkan shalat adalah kafir menurut dalil sam’i
atsari (Al -Qur’an dan As Sunnah), maka menurut dalil 'aqli nadzari
(logika ) pun demikian.
Bagaimana seseorang dikatakan memiliki iman, sementara
dia meninggalkan shalat yang merupakan sendi agama. Dan pahala yang dijanjikan
bagi orang yang mengerjakannya menuntut kepada setiap orang yang berakal dan
beriman untuk segera melaksanakan dan mengerjakannya. Serta ancaman bagi orang
yang meninggalkannya menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman
untuk tidak meninggalkan dan melalaikannya. Dengan demikian, apabila seseorang
meninggalkan shalat, berarti tidak ada lagi iman yang tersisa pada dirinya.
Jika ada pertanyaan : Apakah kekafiran
bagi orang yang meninggalkan shalat tidak dapat diartikan sebagai kufur ni’mat,
bukan kufur millah (yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam), atau
diartikan sebagai kekafiran yang tingkatannya dibawah kufur akbar, seperti
kekafiran yang disebutkan dalam hadits dibawah ini, yang mana Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersaba :
" ِاثْنَانِ بِالنَّاسِ هُمَا بِهِمْ
كُفْرٌ : اَلطَّعْنُ فِي النَّسَبِ ، وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ ".
“Ada
dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi
mereka, yaitu : mencela keturunan dan meratapi orang yang telah mati”.
" سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ
وَقِتَالُهُ كُفْرٌ ".
“Menghina
seorang muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran”.
Jawab
: Pengertian seperti ini dengan mengacu pada contoh tersebut tidak benar,
karena beberapa alasan :
Pertama
: bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjadikan
shalat sebagai batas pemisah antara kekafiran dan keimanan, antara orang orang
mu’min dan orang orang kafir, dan batas ialah yang membedakan apa saja yang
dibatasi, serta memisahkannya dari yang lain, sehingga kedua hal yang dibatasi
berlainan, dan tidak bercampur antara yang satu dengan yang lain.
Kedua
: Shalat adalah salah satu rukun Islam, maka penyebutan kafir terhadap orang
yang meninggalkannya berarti kafir dan keluar dari Islam, karena dia telah
menghancurkan salah satu sendi Islam, berbeda halnya dengan penyebutan kafir
terhadap orang yang mengerjakan salah satu macam perbuatan kekafiran.
Ketiga
: Di sana ada
nash-nash lain yang menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah
kafir, yang dengan kekafirannya menyebabkan ia keluar dari Islam.
Oleh
karena itu kekafiran ini harus difahami sesuai dengan arti yang dikandungnya,
sehingga nash-nash itu akan sinkron dan harmonis, tidak saling bertentangan.
Keempat
: Penggunaan kata kufur berbeda-beda, tentang meninggalkan shalat beliau
bersabda :
" إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ
الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ ".
“Sesungguhnya
(batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah
meninggalkan shalat”.
(HR. Muslim, dalam kitab al iman).
Di sini
digunakan kata “Al ”, dalam bentuk ma’rifah (definite), yang menunjukkan
bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kekafiran yang sebenarnya,
berbeda dengan penggunaan kata kufur secara nakirah (indefinite), atau “kafara”
sebagai kata kerja, atau bahwa dia telah melakukan suatu kekafiran dalam
perbuatan ini, bukan kekafiran mutlak yang menyebabkan keluar dari Islam.
Syeikhul
Islam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya yang bernama Iqtidha ashshirath al
mustaqim cetakan As Sunnah al Muhammadiyah, hal 70, ketika
menjelaskan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
" ِاثْنَانِ بِالنَّاسِ هُمَا بِهِمْ
كُفْرٌ : اَلطَّعْنُ فِي النَّسَبِ ، وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ ".
“Ada
dua perkara terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi
mereka, yaitu : mencela keturunan dan meratapi orang mati”.
Ia mengatakan : sabda Nabi “ Keduanya merupakan
kekafiran” artinya : kedua sifat ini adalah suatu kekafiran yang masih
terdapat pada manusia, jadi kedua sifat ini adalah suatu kekafiran, karena
sebelum itu keduanya termasuk perbuatan-perbuatan kafir, tetapi masih terdapat
pada manusia.
Namun,
tidak berarti bahwa setiap orang yang terdapat pada dirinya salah satu bentuk
kekafiran dengan sendirinya menjadi kafir karenanya secara mutlak, sehingga
terdapat pada dirinya hakekat kekafiran. Begitu pula, tidak setiap orang yang
terdapat dalam dirinya salah satu bentuk keimanan dengan sendirinya menjadi
mu’min.
Penggunaan
kata “Al Kufr” dalam bentuk ma’rifah (dengan kata “ al”) sebagaimana
disebut dalam sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
" إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ
الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ ".
“Sesungguhnya
(batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah
meninggalkan shalat”.
(HR. Muslim, dalam kitab al iman) .
Berbeda dengan kata
“ Kufr ” dalam bentuk nakirah (tanpa kata “ al ”) yang digunakan dalam kalimat
positif.
*****
Apabila sudah jelas bahwa orang yang
meninggalkan shalat adalah kafir, keluar dari Islam, berdasarkan dalil-dalil
ini, maka yang benar adalah pendapat yang dianut oleh Imam Ahmad bin Hanbal,
yang juga merupakan salah satu pendapat Imam Asy Syafii, sebagaimana disebutkan
oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang firman Allah subhaanahu wa ta’aala
:
{ فَخَلَفَ مِن بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلاةَ وَاتَّبَعُوا
الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا , إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ
صَالِحًا فَأُوْلَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلا يُظْلَمُونَ شَيْئًا }
“Lalu datanglah sesudah mereka
pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa
nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang
bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan
tidak akan dirugikan sedikitpun”. (Q.S. Maryam, 59-60).
Disebutkan pula oleh Ibnu Al Qayyim
dalam “ Kitab Ash Shalat ” bahwa pendapat ini merupakan salah satu dari dua
pendapat yang ada dalam madzhab Syafi’i, Ath Thahaqi pun menukilkan demikian
dari Imam Syafii sendiri.
Dan pendapat inilah yang dianut oleh
mayoritas sahabat, bahkan banyak ulama yang menyebutkan bahwa pendapat ini
merupakan ijma’ (consensus) para sahabat.
Abdullah bin Syaqiq mengatakan
: ”Para sahabat Nabi radhiallahu 'anhum berpendapat
bahwa tidak ada satupun amal yang bila ditinggalkan menyebabkan kafir, kecuali
shalat”. (Diriwayatkan
oleh Turmudzi dan Al Hakim menyatakannya shahih menurut persyaratan Imam Bukhari
dan Muslim ).
Ishaq bin Rahawaih rahimahullah
, seorang Imam terkenal mengatakan : “Telah dinyatakan dalam hadits shahih
dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa orang yang
meninggalkan shalat adalah kafir, dan demikianlah pendapat yang dianut oleh
para ulama sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai
sekarang ini, bahwa orang yang sengaja meninggalkan shalat tanpa ada suatu
halangan sehingga lewat waktunya adalah kafir.”
Dituturkan oleh Ibnu Hazm rahimahullah
bahwa pendapat tersebut telah dianut oleh Umar, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin
Jabal, Abu Hurairah, dan para sahabat lainnya, dan ia berkata : “Dan
sepengetahuan kami tidak ada seorang pun diantara sahabat Nabi yang menyalahi
pendapat mereka ini ”, keterangan Ibnu Hazm ini telah dinukil oleh Al Mundziri
dalam kitabnya At Targhib Wat Tarhib, dan ada tambahan lagi dari para
sahabat yaitu Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Jabir bin Abdillah, Abu
Darda’ rodhiallohu ‘anhu, ia berkata lebih lanjut : “ dan diantara para
ulama yang bukan dari sahabat adalah Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih,
Abdullah bin Al Mubarak, An Nakha'i, Al Hakam bin Utbaibah, Ayub As Sikhtiyani,
Abu Daud At Thayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, dan lain
lainnya.”
Jika ada pertanyaan : Apakah
jawaban atas dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa
orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir ?
Jawab : Tidak disebutkan
dalam dalil-dalil ini bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir,
atau mu’min, atau tidak masuk neraka, atau masuk surga, dan yang semisalnya.
Siapapun yang memperhatikan dalil-dalil
itu dengan seksama pasti akan menemukan bahwa dalil-dalil itu tidak keluar dari
lima bagian dan
kesemuanya tidak bertentangan dengan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang
berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir.
Bagian pertama : Hadits-hadits
tersebut dhaif dan tidak jelas, orang yang menyebutkannya berusaha untuk dapat
dijadikan sebagai landasan hukum, namun tetap tidak membawa hasil.
Bagian kedua
: Pada dasarnya, tidak ada dalil yang menjadi pijakan pendapat yang mereka anut
dalam masalah ini, seperti dalil yang digunakan oleh sebagian orang, yaitu
firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
{
إِنَّ اللَّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن
يَشَاء }
“Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (
syirik ) itu yang Dia kehendaki ”.(QS. An Nisa’, 48).
Firman Allah “ مَا
دُوْنَ ذَلِكَ ” artinya : “dosa
dosa yang lebih kecil dari pada syirik ”, bukan “ dosa yang selain syirik ”,
berdasarkan dalil bahwa orang yang mendustakan apa yang diberitakan Allah dan
Rasul-Nya adalah kafir, dengan kekafiran yang tidak diampuni, sedangkan dosa
orang yang meninggalkan shalat tidak termasuk syirik.
Andaikata kita menerima bahwa firman
Allah “ مَا دُوْنَ ذَلِكَ ” artinya adalah “dosa dosa selain
syirik”, niscaya inipun termasuk dalam bab Al Amm Al Makhsus (dalil umum
yang bersifat khusus), dengan adanya nash-nash lain yang menunjukkan adanya
kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam termasuk dosa yang tidak diampuni,
sekalipun tidak termasuk syirik.
Bagian ketiga : Dalil
umum yang bersifat khusus, dengan hadits-hadits yang menunjukkan kekafiran
orang yang meninggalkan shalat.
Contohnya : Sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dituturkan oleh Mu’adz bin Jabal radhiallahu
‘anhu :
" مَا مِنْ عَبْدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ إِلاَّ حَرَّمَهُ
اللهُ عَلَى النَّارِ ".
“Tidak ada seorang hamba yang
bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Muhammad adalah
hamba dan utusan-Nya, kecuali Allah haramkan ia dari api neraka.”
Inilah salah saru lafadznya, dan
diriwayatkan pula dengan lafadz seperti ini dari Abu Hurairah, Ubadah bin
Shamit dan Itban bin Malik radhiallahu ‘anhum .
Bagian keempat : Dalil
umum yang muqayyad (dibatasi) oleh suatu ikatan yang tidak mungkin baginya
meninggalknan shalat.
Contohnya : Sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dituturkan oleh Itban bin Malik radhiallahu
‘anhu :
" مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ
إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهِ عَلَى النَّارِ ".
“Tidak ada seorang hamba yang
bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan Muhammad adalah
utusan Allah, dengan ikhlas dalam hatinya (semata mata karena Allah), kecuali
Allah haramkan ia dari api neraka.”
Dan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi
wa sallam dalam hadits yang dituturkan oleh Mu’adz bin Jabal radhiallahu
‘anhu :
" مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ
إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ
إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهِ عَلَى النَّارِ ".
“Tidak ada seorang hamba yang
bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan Muhammad adalah
utusan Allah, dengan ikhlas dalam hatinya (semata mata karena Allah), kecuali
Allah haramkan ia dari api neraka”. (HR. Bukhari).
Dengan dibatasinya pernyataan dua
kalimat syahadat dengan keikhlasan niat dan kejujuran hati, menunjukkan bahwa
shalat tidak mungkin akan ditinggalkan, karena siapapun yang jujur dan ikhlas
dalam pernyataannya niscaya kejujuran dan keikhlasannya akan mendorong dirinya
untuk melaksanakan shalat, dan tentu saja, karena shalat merupakan sendi Islam,
serta media komunikasi antara hamba dan Tuhan.
Maka apabila ia benar-benar
mengharapkan perjumpaan dengan Allah, tentu akan berbuat apapun yang dapat
menghantarkannya kepada tujuannya itu, dan menjauhi segala apa yang menjadi
penghalangnya.
Demikian pula orang yang mengucapkan
kalimat “La Ilaha Illallah wa anna Muhammad Rasulullah” secara
jujur dari lubuk hatinya, tentu kejujurannya itu akan mendorong dirinya untuk
melaksanakan shalat dengan ikhlas semata-mata karena Allah, dan mengikuti
tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena hal itu
termasuk syarat syarat syahadat yang benar.
Bagian kelima : Dalil
yang disebutkan secara muqayyad (dibatasi) oleh suatu kondisi yag menjadi
alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat.
Contohnya : Hadits riwayat Ibnu
Majah, dari Hudzaifah bin Al Yaman, ia menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
يُدْرَسُ اْلإِسْلاَمُ كَمَا يُدْرَسُ وَشْيُ
الثَّوْبِ " وفيه " وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ الشَّيْخُ
الْكَبِيْرُ وَالْعَجُوْزُ يَقُوْلُوْنَ : أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ
الْكَلِمَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ فَنَحْنُ نَقُوْلُهَا
“Akan hilang Islam ini
sebagaimana akan hilang ornamen yang terdapat pada pakaian”… “dan tinggallah
beberapa kelompok manusia, yaitu kaum lelaki dan wanita yang tua renta, mereka
berkata :”kami mendapatkan orang tua kami hanya menganut kalimat “La Ilaha
Illallah” ini, maka kamipun menyatakannya (seperti mereka) ”.
Shilah berkata kepada Hudzaifah :”
Tidak berguna bagi mereka kalimat “La Ilah Illallah”, bila mereka
tidak tahu apa itu shalat, apa itu puasa, apa itu haji, apa itu zakat.”, maka
Hudzaifah radhiallahu ‘anhu memalingkan mukanya dengan menjawab :” wahai
Shilah, kalimat itu akan menyelamatkan mereka dari api neraka”, berulangkali
dia katakan seperti itu kepada Shilah, dan ketiga kalinya dia mengatakan sambil
menatapnya.
Orang-orang yang selamat dari api
neraka dengan kalimat syahadat saja, mereka itu dima'afkan untuk tidak
melaksanakan syari'at Islam, karena mereka sudah tidak mengenalnya, sehingga
apa yang mereka kerjakan hanyalah apa yang mereka dapatkan saja, kondisi mereka
adalah serupa dengan kondisi orang yang meninggal dunia sebelum
diperintahkannya syari'at, atau sebelum mereka mendapat kesempatan untuk
mengerjakan syari'at, atau orang yang masuk Islam di negara kafir tetapi belum
sempat mengenal syari'at ia meninggal dunia.
Kesimpulannya, bahwa dalil-dalil
yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa tidak kafir orang yang
tidak shalat atau meninggalkannya, tidak dapat melemahkan dalil-dalil yang
dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat
adalah kafir, karena dalil-dalil yang mereka pergunakan itu dhaif, dan tidak
jelas, atau sama sekali tidak membuktikan kebenaran pendapat mereka, atau
dibatasi oleh suatu ikatan yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu
ditinggalkan, atau dibatasi oleh suatu kondisi yang menjadi alasan untuk
meninggalkan shalat, atau dalil umum yang bersifat husus dengan adanya nash-nash
yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.
Dengan demikian jelaslah bahwa orang
yang meninggalkan shalat adalah kafir, berdasarkan dalil yang kuat yang tidak
dapat disanggah dan disangkal lagi, untuk itu harus dikenakan kepadanya
konsekwensi hukum karena kekafiran dan riddah (keluar dari Islam), sesuai
dengan prinsip “hukum itu dinyatakan ada atau tidak ada mengikuti ilat (alasan)
nya”.
2
KONSEKWENSI
HUKUM KARENA RIDDAH
YANG
DISEBABKAN KARENA MENINGGALKAN SHALAT ATAU SEBAB YANG LAINNYA
Ada beberapa kosekwensi hukum baik yang
bersifat duniawi, maupun ukhrawi, yang terjadi karena riddah ( keluar dari
Islam ) :
Pertama
:Konsekwensi Hukum Yang Bersifat Duniawi :
1- Kehilangan
haknya sebagai wali.
Oleh karena itu, dia tidak boleh sama sekali dijadikan
wali dalam perkara yang memerlukan persyaratan kewalian dalam Islam, dengan
demikian, ia tidak boleh dijadikan wali untuk anak-anaknya atau selain mereka,
dan tidak boleh menikahkan salah seorang putrinya atau putri orang lain yang berada
dibawah kewaliannya.
Para ulama
fiqh kita - Rahimahumullah – telah menegaskan dalam kitab-kitab mereka
yang kecil maupun besar, bahwa disyaratkan beragama islam bagi seorang wali
apabila mengawinkan wanita muslimah, mereka berkata : “Tidak sah orang kafir
menjadi wali bagi seorang wanita muslimah”.
Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata :
“ Tidak sah suatu pernikahan kecuali disertai dengan seorang wali yang
bijaksana, dan kebijaksanaan yang paling agung dan luhur adalah agama Islam,
sedang kebodohan yang paling hina dan rendah adalah kekafiran, kemurtadan dari
Islam.
Allah subhaanahu wa ta’aala
berfirman :
{ وَمَن يَرْغَبُ عَن مِّلَّةِ إِبْرَاهِيمَ
إِلاَّ مَن سَفِهَ نَفْسَهُ }
“Dan
tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh
dirinya sendiri …” (QS. Al Baqarah,
130).
2- Kehilangan
haknya untuk mewarisi harta kerabatnya.
Sebab orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam,
begitu pula orang Islam tidak boleh mewarisi harta orang kafir, berdasarkan
hadits Nabi yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
" لاَ يَرِثُ الْمُسْلِمُ الْكَافِرَ
وَلاَ الْكَافِرُ الْمُسْلِمَ ".
“Tidak boleh seorang muslim mewarisi orang
kafir, dan tidak boleh orang kafir mewarisi orang muslim”. (HR.Bukhari
dan Muslim).
3- Dilarang
baginya untuk memasuki kota
Makkah dan tanah haramnya.
Berdasarkan firman Allah subhaanahu
wa ta’aala :
{
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْمُشْرِكُونَ نَجَسٌ فَلاَ
يَقْرَبُواْ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ بَعْدَ عَامِهِمْ هَـذَا }
“Hai
orang orang yang beriman, sesungguhnya orang- orang musyrik itu najis, maka
janganlah mereka mendekati Al Masjidil Haram sesudah tahun ini …” (QS. At
Taubah, 28).
4- Diharamkan
makan hewan sembelihannya.
Seperti onta, sapi, kambing, dan hewan lainnya, yang
termasuk syarat dimakannya adalah sembelih, karena salah satu syarat penyembelihannya
adalah bahwa penyembelihnya harus seorang muslim atau ahli kitab (yahudi dan nasrani),
adapun orang murtad, paganis, majusi, dan sejenisnya, maka sembelihan mereka
tidak halal.
Al Khazin dalam kitab tafsirnya mengatakan :
“Para ulama telah sepakat bahwa sembelihan
orang-orang majusi dan orang-orang musyrik seperti kaum musyrikin arab, para
penyembah berhala, dan mereka yang tidak mempunyai al kitab, haram hukumnya.”
Dan Imam Ahmad mengatakan : “Setahu saya, tidak
ada seorangpun yang berpendapat selain demikian, kecuali orang orang ahli
bid’ah.”
5- Tidak
boleh dishalatkan jenazahnya dan tidak boleh dimintakan ampunan dan rahmat
untuknya.
Berdasarkan firman Allah subhaanahu
wa ta’aala :
{ وَلاَ تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِّنْهُم مَّاتَ أَبَدًا وَلاَ
تَقُمْ عَلَىَ قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُواْ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُواْ
وَهُمْ فَاسِقُونَ }
“Dan
janganlah kamu sekali-kali menshalatkan (jenazah) seorang yang mati diantara
mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburannya, sesungguhnya
mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka mati dalam keadaan
fasik”.
(QS. At Taubah, 84).
Dan firman-Nya :
{ مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ
لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُواْ أُوْلِي قُرْبَى مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ
أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ , وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ
لِأَبِيهِ إِلاَّ عَن مَّوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ
أَنَّهُ عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ }
“Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang orang yang
beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang orang musyrik, walaupun
mereka itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwa orang-orang
musyrik itu adalah penghuni neraka jahim, dan permintaan ampun dari Ibrahim
(kepada Allah) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena suatu janji yang
telah diikrarkannya kepada bapaknya itu, tetapi ketika jelas bagi Ibrahim bahwa
bapaknya itu adalah musuh Allah, maka berlepas diri darinya, sesungguhnya
Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut hatinya lagi penyantun.” (QS. At
Taubah, 114-114).
Do'a seseorang untuk memintakan ampun dan rahmat bagi
orang yang mati dalam keadaan kafir, apapun sebab kekafirannya, adalah pelanggaran
dalam do'a, dan merupakan suatu bentuk penghinaan kepada Allah, dan
penyimpangan terhadap tuntunan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan
orang orang yang beriman.
Bagaimana mungkin orang yang beriman kepada Allah dan
hari kiamat mau mendo'akan orang yang mati dalam keadaan kafir, agar diberi
ampunan dan rahmat, padahal dia adalah musuh Allah ? sebagaimana firman Allah subhaanahu
wa ta’aala :
{ مَن كَانَ عَدُوًّا لِّلّهِ وَمَلآئِكَتِهِ وَرُسُلِهِ
وَجِبْرِيلَ وَمِيكَالَ فَإِنَّ اللّهَ عَدُوٌّ لِّلْكَافِرِينَ }
“Barang siapa yang menjadi musuh
Allah, Malaikat malaikat-Nya, Rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka
sesungguhnya Allah adalah musuhnya orang orang kafir”.
(QS.
Al Baqarah, 98 ).
Dalam ayat ini, Allah telah
menjelaskan bahwa Dia adalah musuh orang-orang yang kafir. Yang wajib bagi
orang mu’min ialah melepaskan diri dari setiap orang kafir, karena firman Allah
subhaanahu wa ta’aala :
{وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ لِأَبِيهِ وَقَوْمِهِ إِنَّنِي بَرَاءٌ
مِّمَّا تَعْبُدُونَ,إِلَّا الَّذِي فَطَرَنِي فَإِنَّهُ سَيَهْدِينِ }
“Dan ingatlah ketika Ibrahim
berkata kepada bapak dan kaumnya : “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa
yang kamu sembah, kecuali Tuhan yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan
memberi hidayah kepadaku” . ( QS. Az Zukhruf, 26 –27 ).
Dan firman-Nya :
{ قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ
وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَاءٌ مِنكُمْ وَمِمَّا
تَعْبُدُونَ مِن دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ
الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ }
“Sesungguhnya telah ada suri
tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang orang yang bersama dengan dia,
ketika mereka berkata kepada kaum mereka : “sesungguhnya kami berlepas diri
dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)
mu, dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama lamanya
sampai kamu beriman kepada Allah saja …” ( QS. Al Mumtahanah,
4 ).
Untuk mencapai derajat demikian
adalah dengan mutaba’ah (meneladani) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :
{
وَأَذَانٌ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ الأَكْبَرِ
أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ }
“Dan ( inilah ) suatu permakluman
dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa
sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang orang musyrik ”.
(QS.
At Taubah, 3 ).
6- Dilarang
menikah dengan wanita muslimah.
Karena dia kafir, dan orang kafir tidak boleh menikahi
wanita muslimah, berdasarkan nash dan ijma’.
Allah subhaanahu wa ta’aala
berfirman :
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ
الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لا
هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلا هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ }
“Hai orang orang yang beriman,
apabila perempuan perempuan yang beriman datang berhijrah kepadamu, maka
hendaklah kamu uji (keimanan) mereka, Allah lebih mengetahui tentang mereka,
jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar benar) beriman, maka janganlah
kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang orang kafir, mereka
tidak halal bagi orang orang kafir itu, dan orang orang kafir itu tidak halal
bagi mereka …”(QS. Al Mumtahanah, 10).
Dikatakan dalam kitab Al Mughni,
jilid 6, hal 592 : “Semua orang kafir, selain Ahli kitab, tidak ada perbedaan
pendapat diantara para ulama, bahwa wanita-wanita dan sembelihan sembelihan
mereka haram bagi orang Islam …, dan wanita-wanita yang murtad (keluar dari
Islam) ke agama apapun haram untuk dinikahi, karena dia tidak diakui sebagai
pemeluk agama baru yang dianutnya itu, sebab kalau diakui sejak semula sebagai
pemeluk agama itu, maka kemungkinan bisa dihalalkan.” (seperti wanita yang
berpindah dari agama Islam ke agama ahli kitab, maka diharamkan untuk dinikahi,
tetapi bila wanita itu sejak semula telah memeluk agama ahli kitab ini, maka
dihalalkan untuk dinikahi, pent).
Dan disebutkan dalam bab “ orang
murtad ”, jilid 8, hal 130 : “Jika dia kawin, tidak sah perkawinannya,
karena tidak ditetapkan secara hukum untuk menikah, dan selama tidak ada
ketetapan hukum untuk pernikahannya, dilarang pula pelaksanaan
pernikahannya, seperti pernikahan orang kafir dengan wanita muslimah.”
Sebagaimana diketahui, telah
dikemukakan dengan jelas, bahwa dilarang menikah dengan wanita yang murtad, dan
tidak sah kawin dengan laki-laki yang murtad.
Dikatakan pula dalam kitab Al-Mughni,
jilid 6, hal 298 : “Apabila salah seorang dari suami istri murtad sebelum sang
istri digauli, maka batallah pernikahan mereka seketika itu, dan masing-masing
pihak tidak berhak untuk mewarisi yang lain, namun, jika ia murtad setelah
digauli maka dalam hal ini ada dua riwayat : pertama : segera
dipisahkan, kedua : ditunggu sampai habis masa iddah.”
Dan disebutkan dalam Al-Mughni,
jilid 6, hal 639 : “Batalnya pernikahan karena riddah sebelum sang istri
digauli adalah pendapat yang dianut oleh mayoritas para ulama, berdasarkan
banyak dalil, adapun bila terjadi riddah setelah digauli, maka batallah
pernikahan seketika itu juga, menurut pendapat Imam Malik dan Abu
Hanifah, dan menurut pendapat Imam Syafi'i : ditunggu sampai habis
masa iddahnya, dan menurut Imam Ahmad ada dua riwayat seperti kedua
madzhab tersebut.”
Kemudian disebutkan pula pada
halaman 640 : “Apabila suami istri itu sama sama murtad, maka hukumnya adalah
seperti halnya apabila salah satu dari keduanya murtad, jika terjadi sebelum
digauli, segera diceraikan antara keduanya. Dan jika terjadi sesudahnya, apakah
segera diceraikan atau menunggu sampai habis masa iddah ? ada dua riwayat, dan
inilah madzhab Syafi’i.
Selanjutnya disebutkan bahwa menurut
Imam Abu Hanifah, pernikahannya tidaklah batal berdasarkan istihsan
(kebijaksanaan yang diambil berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, tanpa
mengacu kepada nash secara khusus, pent), karena dengan demikian, agama mereka
berbeda, sehingga ibaratnya seperti kalau mereka sama sama beragama Islam.
Kemudian analogi yang digunakan itu disanggah oleh pengarang Al Mughni dari
segala segi dan aspeknya.
Apabila telah jelas dan nyata bahwa
pernikahan orang murtad dengan laki-laki atau perempuan yang beragama Islam itu
tidak sah, berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah, dan orang yang
meninggalkan shalat adalah kafir berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah
serta pendapat para sahabat, maka jelaslah bagi kita bahwa seseorang apabila
tidak melaksanakan shalat, dan mengawini seorang wanita muslimah, maka
pernikahannya tidak sah, dan tidak halal baginya wanita itu dengan akad nikah
ini, begitu pula hukumnya apabila pihak wanita yang tidak shalat.
Hal ini berbeda dengan pernikahan
orang-orang kafir, ketika masih dalam keadaan kafir, seperti seorang laki-laki
kafir kawin dengan wanita kafir, kemudian sang istri masuk Islam, jika ia masuk
Islam sebelum digauli, maka batallah pernikahan tadi, tapi jika masuk Islam
sesudah digauli, belum batal pernikahannya, namun ditunggu : apabila sang suami
masuk Islam sebelum habis masa iddah, maka wanita tersebut tetap menjadi
istrinya, tetapi apabila telah habis masa iddahnya sang suami belum masuk
Islam, maka tidak ada hak baginya terhadap istrinya, karena dengan demikian
nyatalah bahwa pernikahannya telah batal, sejak sang istri masuk Islam.
Pada zaman Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam ada sejumlah orang kafir yang masuk Islam bersama istri
mereka, dan pernikahan mereka tetap diakui oleh Nabi, kecuali jika terdapat
sebab yang mengharamkan dilangsungkannya pernikahan tersebut, seperti apabila
suami istri itu berasal dari agama majusi dan terdapat hubungan kekeluargaan
yang melarang dilangsungkannya pernikahan di antara keduanya, maka kalau
keduanya masuk Islam, diceraikan seketika itu juga antara mereka berdua, karena
adanya sebab yang mengharamkan tadi.
Masalah ini tidak seperti halnya
orang muslim, yang menjadi kafir karena meninggalkan shalat, kemudian
kawin dengan seorang wanita muslimah, wanita muslimah itu tidak halal bagi
orang kafir berdasarkan nash dan ijma’, sebagaimana telah diuraikan di atas,
sekalipun orang itu awalnya kafir bukan karena murtad, untuk itu, jika ada
seorang laki-laki kafir kawin dengan wanita muslimah, maka pernikahannya batal,
dan wajib diceraikan antara keduanya. Apabila laki-laki itu masuk Islam dan
ingin kembali kepada wanita tersebut, maka harus dengan akad nikah yang baru.
7- Hukum
anak orang yang meninggalkan shalat dari perkawinannya dengan wanita muslimah.
Bagi pihak istri, menurut pendapat orang yang mengatakan
bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, maka anak itu adalah
anaknya, dan bagaimanapun tetap dinasabkan kepadanya, karena pernikahannya
adalah sah.
Sedang menurut pendapat yang mengatakan bahwa orang yang
meninggalkan shalat itu kafir, dan pendapat ini yang benar sebagaimana yang
telah dijelaskan di atas, pada bahasan pertama, maka kita tinjau terlebih
dahulu :
·
Jika sang suami tidak
mengetahui bahwa pernikahannya batal, atau tidak meyakini yang demikian itu,
maka anak itu adalah anaknya, dan dinasabkan kepadanya, karena hubungan suami
istri yang dilakukannya dalam keadaan seperti ini adalah boleh menurut
keyakinannya, sehingga hubungan tersebut dihukumi sebagai hubungan syubhat
(yang meragukan), dan karenanya anak tadi tetap diikutkan kepadanya dalam
nasab.
·
Namun jika sang suami
itu mengetahui serta meyakini bahwa pernikahannya batal, maka anak itu tidak
dinasabkan kepadanya, karena tercipta dari sperma orang yang berpendapat bahwa
hubungan yang dilakukannya adalah haram, karena terjadi pada wanita yang tidak
dihalalkan baginya.
Kedua
: Konsekwensi Hukum Yang Bersifat Ukhrawi :
1- Dicaci
dan dihardik oleh para malaikat.
Bahkan para malaikat memukuli seluruh tubuhnya, dari
bagian depan dan belakangnya.
Allah subhaanahu wa ta’aala
berfirman :
{ وَلَوْ تَرَى إِذْ يَتَوَفَّى الَّذِينَ كَفَرُواْ الْمَلآئِكَةُ
يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ وَذُوقُواْ عَذَابَ الْحَرِيقِ , ذَلِكَ
بِمَا قَدَّمَتْ أَيْدِيكُمْ وَأَنَّ اللَّهَ لَيْسَ بِظَلاَّمٍ لِّلْعَبِيد }ِ
“Kalau kamu
melihat ketika para malaikat mencabut nyawa orang-orang yang kafir, seraya
memukul muka dan belakang mereka (dan berkata) : “Rasakanlah olehmu siksa
nereka yang membakar”, (tentulah kamu akan merasa ngeri). Demikian itu
disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, sesungguhnya Allah sekali kali
tidak menganiaya hamba-Nya ”. (QS. Al Anfal, 50–51).
2- Pada
hari kiamat ia akan dikumpulkan bersama orang orang kafir dan musyrik, karena
ia termasuk dalam golongan mereka.
Firman Allah subhaanahu wa ta’aala
:
{ احْشُرُوا الَّذِينَ ظَلَمُوا
وَأَزْوَاجَهُمْ وَمَا كَانُوا يَعْبُدُونَ , مِن دُونِ اللَّهِ فَاهْدُوهُمْ
إِلَى صِرَاطِ الْجَحِيم }ِ
“(Kepada para malaikat diperintahkan) :
“Kumpulkanlah orang-orang yang dzalim beserta orang-orang yang sejenis mereka
dan apa-apa yang menjadi sesembahan mereka, selain Allah, lalu tunjukkanlah
kepada mereka jalan ke neraka ”.(QS.Ash Shaffat, 22–23).
Kata “ أَزْوَاج ”
bentuk jama’ dari “ زَوْج ” yang berarti : jenis, macam. Yakni
: “Kumpulkanlah orang-orang yang musyrik dan orang-orang yang sejenis mereka,
seperti orang-orang kafir dan yang dzalim lainnya.”
3-
Kekal untuk selama-lamanya
di dalam neraka.
Berdasarkan firman Allah subhaanahu
wa ta’aala :
{ إِنَّ اللَّهَ لَعَنَ الْكَافِرِينَ
وَأَعَدَّ لَهُمْ سَعِيرًا , خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا لَّا يَجِدُونَ وَلِيًّا
وَلا نَصِيرًا , يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا
لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولاْ }
“Sesungguhnya
Allah melaknati orang-orang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala
(neraka), mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, mereka tidak memperoleh
seorang pelindungpun dan tidak (pula) seorang penolong. Pada hari ketika muka
mereka dibolak balikkan dalam neraka, mereka berkata : Alangkah baiknya,
andaikata kami taat kepada Allah, dan taat (pula) kepada Rasul ”. (QS. Al
Ahzab, 64 – 66).
PENUTUP
demikianlah apa yang ingin penulis
sampaikan, tentang permasalahan yang besar ini, yang telah melanda banyak umat
manusia .
Pintu taubat masih terbuka bagi
siapapun yang hendak bertaubat, karena itu, saudaraku se Islam, segeralah
bertaubat kepada Allah ta'ala , dengan ikhlas semata mata karena-Nya,
menyesali apa yang telah diperbuat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi,
serta memperbanyak amal keta'atan.
Allah subhaanahu wa ta’aala
berfirman :
{ إِلَّا مَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ عَمَلًا صَالِحًا
فَأُوْلَئِكَ يُبَدِّلُ اللَّهُ سَيِّئَاتِهِمْ حَسَنَاتٍ وَكَانَ اللَّهُ
غَفُورًا رَّحِيمًا , وَمَن تَابَ وَعَمِلَ صَالِحًا فَإِنَّهُ يَتُوبُ إِلَى
اللَّهِ مَتَابًا }
“Kecuali orang orang yang
bertaubat, beriman dan mengerjakan amal shaleh, maka kejahatan mereka diganti
dengan kebajikan, dan Allah adalah maha pengampun lagi maha penyayang, dan
orang yang bertaubat dan mengerjakan amal shaleh, maka sesungguhnya dia
bertaubat kepada Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya ”. (QS. Al
Furqan, 70 – 71).
Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya
kepada kita dalam urusan ini, menunjukkan kepada kita semua jalan-Nya yang
lurus, jalan orang-orang yang dikaruniai ni’mat oleh Allah, yaitu para Nabi,
shiddiqin, syuhada dan shalihin, Bukan jalan orang-orang yang dimurkai atau
orang-orang yang tersesat.
Selesai
ditulis oleh :
Al
faqir Ilallahi ta’ala
Muhammad
bin Shaleh Al Utsaimain
(rahimahullah)
Pada
tanggal 23 Shafar 1407 H.
DAFTAR ISI :
NO
|
MATERI
|
HAL
|
1
|
Pendahuluan ………………………………….
|
2
|
2
|
Bahasan
Pertama
:
|
|
Hukum orang yang
meninggalkan shalat….
|
3
|
|
a. Dalil-dalil dari
Al-Qur'an ……………….
|
5
|
|
b. Dalil-dalil dari
As-Sunnah ………………
|
9
|
|
Pertanyaan-pertanyaan & jawabannya…
|
12
|
|
3
|
Bahasan Kedua :
|
|
Konsekwensi hukum
karena riddah ………..
|
23
|
|
a. Konsekwensi
hukum bersifat duniawi…
|
23
|
|
b. Konsekwensi
hukum bersifat ukhrawi…
|
32
|
|
4
|
Penutup …………………………………………….
|
34
|
5
|
Daftar Isi
…………………………………………….
|
35
|
0 komentar:
Posting Komentar