Bismillah..
Kitab-kitab
samawi seperti Zabur, Taurat, dan Injil diturunkan secara sekaligus pada para
nabi yang dipilih-Nya. Bagaimana dengan kitab suci Al-Qur’an? Al-Qur’an berbeda
karena diturunkan tidak sekaligus, tapi berangsur-angsur. Justru inilah salah
satu keistimewaan Al-Qur’an.
Mengapa
Al-Qur’an tidak diturunkan secara sekaligus?
Ada hikmah
besar di baliknya. Sebenarnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala pun mampu menurunkannya
sekaligus, namun dengan kesempurnaan hikmah dan ilmu-Nya, Al-Qur’an diturunkan
secara bertahap dalam beberapa waktu, seperti kalam Allah:
“Dan
Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi
bagian.” (Qs.
Al-Isra’: 106)
Dengan
diturunkan secara berangsur-angsur, maka akan memudahkan Al-Qur’an untuk
dihafal, difahami, dan diamalkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
dan para sahabat2nya. Orang2 Arab zaman dulu umumnya tidak bisa membaca dan
menulis, sehingga mereka menyimpan ilmu mereka dengan hafalan.
Ayat lain
yang menjelaskan hal ini adalah di Surat Al-Furqon berikut ini:
Berkatalah
orang-orang yang kafir: “Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya
sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami
membacanya secara tartil (teratur dan benar). (QS. Al-Furqon: 32)
Dengan turun
secara berangsur-angsur, maka dapat memperkuat/memperteguh hati Rasulullah
karena dakwah itu berat dan penuh rintangan. Ada ayat yang isinya berisi
hiburan untuk beliau sehingga menjadi lebih sabar dan teguh dalam berdakwah..
ada yang berisi berita gembira akan kemenangan yang akan peroleh meski keadaan
saat itu sangat sulit.. ada yang berupa kisah2 para Nabi yang ternyata
mendapatkan berbagai cobaan2 yang berat juga, sehingga beliau bisa mengambil
ibrah dari kisah tersebut.. ada juga yang menjawab pertanyaan2 kaum musyikin
Mekkah, kaum Yahudi maupun menjawab pertanyaan para muslimin tentang beberapa
hukum saat di Madinah..
Jadi, betapa
indahnya dan betapa besarnya hikmah diturunkannya Al-Qur’an secara
berangsur-angsur. Intinya, dalam Surat Al-Furqon di atas, tujuan diturunkan
Al-Qur’an tidak sekaligus seperti kitab sebelumnya, tapi berangsur2 adalah
untuk MEMPERKUAT/MEMPERTEGUH/ MEMPERKOKOH HATIMU..
Barangkali
ini juga bisa menjawab pertanyaan salah satu saudari saya di Kalimantan,
Mengapa kita
tidak bisa menguasai seluruh bidang yang kita inginkan sekaligus dalam satu
waktu? Agar kita bisa menghafal ilmu itu, memahaminya, mempraktekannya.. dan
agar ilmu itu benar2 kokoh dalam hati kita lebih dulu. Seperti ulama zaman
dulu, tidak diperkenankan belajar hadits sebelum hafal/menguasai Al-Qur’an
lebih dahulu. Jadi, kuasai dan tekuni dulu satu-satu..
= = = =
Alhamdulillah,
dalam perjalanan saya menghafal Al-Qur’an, banyak ayat Al-Qur’an yang saat saya
hafal, saat itu pula saya mendapatkan kesan/hikmah/penjelasannya/mengingat masa
lalu saya yang indah.. atau bahkan ujian bagi kehidupan saya. Misalnya,
-saat saya
menghafal QS. Thaha, saat itu saya mendapat jatah dari ustadzah untuk
mempresentasikan/menjelaskan pada teman2 di mahad tentang bagaimana proses Umar
bin Khoththob masuk Islam. Padahal, Umar bin Khoththob masuk Islam setelah
mendengar dan membaca QS. Thaha. Beliau kagum dan menangis karena merasakan
keindahan Al-Qur’an. Hatinya luluh dan mengakui kebenaran karena tidak mungkin
kata2 yang memiliki ketinggian satra itu itu adalah kata2 manusia lalu beliau
masuk Islam.
-saat
menghafal QS. Al-Ahqof, saya diuji untuk menuruti orang tua untuk bekerja dan
tidak bisa masuk mahad lagi. Saat itu saya bertanya dalam hati, “Masya Allah,
saya diuji dengan apa yang saya hafal.” Akhirnya saya mengambil cuti beberapa
waktu dan terus memohon pada Allah agar bisa kembali lagi ke mahad untuk
meneruskan hafalan.
-saat saya
menghafal QS. Al-Hajj, saat itu adalah bulan Dzulhijah, di mana sebagian
muslimin melaksanakan ibadah haji dan penyembelihan hewan qurban. Saya
mendengar para penceramah di kajian membaca QS. Al-Hajj saat berkhutbah
menjelang hari Idul Adha.
-suatu saat
saya bertanya pada Allah, “Ya Allah, apakah yang paling berharga di dunia ini?”
Setelah beberapa lama, hati saya menjawab : iman dan Islam. Lalu saya pun
bertanya lagi, “Banyak orang yang mengaku orang Islam dan orang beriman, tapi
ternyata mereka berbeda2. Ya Allah, bagaimanakah iman yang sesungguhnya itu?”..
Alhamdulillah, pagi harinya saya menghafal awal Qs. Al-Anfal yang menjawab
pertanyaan saya. Alhamdulillah, saya sangat senang dan bersyukur sekali karena
pertanyaan saya terjawab. Lalu saya menceritakan pada ayah, ayah menambahkan
bahwa ciri iman yang sebebarnya itu diterangkan dalam Qs. Al-Hujurat.
-Suatu saya
menghadiri majelis pengkhataman al-Qur’anyang diadakan besar2an di kota Solo,
penceramah menjelaskan tentang kematian dan menyebutkan salah satu ayat di
Surat Al-A’raf. “Masya Allah, ini adalah jatah hafalanku hari ini.”
-Saat saya
menghafal salah satu ayat di Qs. Al-Qashash, saya teringat dulu pernah memohon
pada Allah dengan doa yang mirip seperti yang diucapkan Nabi Musa
‘alaihissalam. Dan alhamdulillah, Allah mengabulkan doa itu dan memberikan
kebaikan yang banyak.
-saat saya
menghafal Qs. Maryam, saat itu saya sedang bersedih, lalu ada sebuah ayat yang
benar2 menghibur dengan khitab yang tepat, “Alaa tahzanii..” Janganlah kamu
besedih.. “. Kata kerja yang digunakan adalah kata kerja untuk perempuan
tunggal, yaitu Maryam. Seolah-olah Al-Qur’an berkata padaku, “Janganlah engkau
bersedih..” kemudian menceritakan bagaimana Allah memberi pertolongan dan kebar
gembira pada Maryam. Setelah itu, saya tersenyum..
Masih ada
lagi yang belum bisa saya ceritakan, seperti kesan ketika menghafal QS.
Az-Zukhruf, Al-Mukminun, Al’Ankabut, Al-Hijr, Al-Baqarah, Ali-Imran, Az-Zumar,
Al-Isra’, Yunus, Yusuf, Muhammad, dst. Barangkali ini salah satu nikmatnya
menghafal qur’an, untuk memperkuat hatimu.. karena memang menghafal
qur’an itu banyak rintangan dan ujiannya.. saya akui.. berat.. Alhamdulillah,
Allah memberi kabar gembira, menghibur kesedihan, dan menggantinya dengan
kegembiraan.
Pada masa ini, setiap wahyu yang turun, satu ayat atau
lebih , terlebih dulu Nabi Muhammad SAW memahami dan menghafalkannya, kemudian
disampaikan dan diajarkan kepada sahabatnya persis seperti apa yang diterimanya
tanpa ada perubahan dan penggantian sedikitpun. Selanjutnya Rasulullah
menganjurkan kepada para sahabat yang telah menerima ayat-ayat itu untuk
menghafalkannya dan meneruskannya pula kepada para pengikutnya.
Para penulis
tersebut menuliskan wahyu yang diterima dari Rasulullah pada benda-benda yang
lazim dipakai pada masa itu sebagai alat tulis, seperti pelepah korma, batu,
tulang-tulang hewan atau kulit-kulit hewan yang telah disamak. Ayat-ayat yang
telah ditulis ini kemdian disimpan di rumah Rasul sendiri. Disamping itu, para
penulis wahyu ini, dan setiap orang Islam yang pandai tulis baca pada masa itu
menuliskan pula ayat-ayat al-qur’an tersebut untuk diri dan keluarga mereka
yang dipakai dan disimpan di rumah mereka masing-masing. Kepada para penulis
wahyu ini Rasul menunjukkan letak masing-masing ayat yang akan mereka tuliskan,
yaitu didalam surat mana, sebelum atau sesudah ayat mana. Hal ini disebabkan
susunan ayat itu tidak kronologis, sebab kebanyakan surat tidaklah diturunkan
sekaligus komplit. Sering kali suatu surat belum selesai diturunkan semua
ayat-ayatnya telah disusuli pul aoleh surat-surat lainnya sehingga apabila
turun suatu ayat, Rasulullah lalu menunjukkan letak ayat itu. Apabila suatu
surat telah lengkap diturunkan semua ayat-ayatnya Rasulullah lalu memberikan
nama untuk surat itu, dan untuk memisahkan antara suatu surat dengan surat yang
sebelum atau sesudahnya, Rasulullah menyuruh letakkan lafazh basmalah
pada awal masing-masing surat itu. Tertib urut masing-masing ayat pada surat
itu dikokohkan pula oleh Nabi sendiri dengan bacaan-bac aannya dalam waktu
shalat ataupun diluar shalat.
Dalam rangka
penulisan dan pemeliharaa al-qur’an ini Raslullah mengeluarkan aturan, yaitu
bahwa hanya ayat-ayat al-qur’an sajalah yang boleh mereka tuliskan. Adapun hadis-hadis
atau pelajaran yang lainnya yang juga mereka terima dari Rasulullah tidak boleh
menuliskannya dimasa itu.
Larangan tersebut dimaksudkan untuk menjaga kesucian
dan kemurnian al-qur’an, yakni supaya al-qur’an ini tetap terpelihara
keasliannya, tidak tercampur aduk dengan kata-kata atau pelajaran-pelajaran
lain yang juga mereka terima dari Rasulullah, tapi bukan ayat-ayat al-qur’an.
Cara yang telah dilakukan Rasulullah dalam rangka
memperhebat dan memperlancar penulisan al-qur’an kepada kaum muslimin untuk
memberantas buta huruf antara lain sebagai berikut :
- Memberikan penghormatan dan penghargaan yang tinggi kepada orang-orang yang telah pandai menulsi dan membaca.
Rasulullah SAW bersabda :
“pada hari kiamat tinta para ulama ditimbang dengan
darah pada syuhada”.
Berdasarkan hadis ini berarti orang-orang yang pandai
tulis baca ditempatkan sederajat dengan para pahlawan yang mati syahid di medan
pertempuran.
- Rasulullah menggunakan tenaga para tawanan perang dalam usaha pemberantasan buta huruf. Pada perang Badr al-Kubra, kaum muslimin memperoleh kemenangan. Orang-orang musyrik banyak ditawan, dan diantara para tawanan ini banyak pula yang tidak dapat menebus dirinya sendiri itu, tetapi pandai tulis baca, maka Rasulullah memberikan suatu ketentuan, bahwa tawanan-tawanan tersebut dapat dibebaskan kembali dengan syarat masing-masing telah berhasil mengajar sampai pandai tulis baca 10 orang muslim.
Dengan adanya
berbagai macam usaha tersebut, bertambah besarlah keinginan masyarakat muslimin
untuk meperlajari tulis baca, dan semakin banyak orang yang bebas dari buta
huruf. Hal ini menyebabkan bertambah banyak pula jumlah kaum muslimin yang
dapat ikut serta memelihara al-qur’an dengan tulisan-tulisan disamping
hafalan-hafalan mereka.
Adapun
bahan-bahan yang dipakai kaum muslimin dimasa Rasulullah ketika menulis
ayat-ayat al-qur’an dapat diketahui dari riwayat-riwayat berikut :
“Al-bukhari
meriwayatkan dari Zaid ibn Tsabit bahwa ketika ia berkata : Aku mencari
ayat-ayat al-qur’an yang aku kumpulkan/tulis pada batu dan pelepah kurma dan
pada hafalan-hafalan para sahabat”.
“Syeikh
al-Zanjani berkata dalam kitabnya Tarikh Al-qur’an : Tulisan ayat-ayat
al-qur’an itu mereka tulis pada pelepah korma, batu, kulit dan kadang-kadang
pada kain sutra, kulit yang telah dimasak dan tulang-tulang onta menurut
kebiasaan bangsa Arab menulis pada benda-benda tersebut, dan benda-benda yang
telah ditulis itu dinamainya dengan Shuhuf”.
Dari uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa :
- Tadwin Al-qur’an telah terjadi pada masa Rasulullah, yaitu bahwa semua al-qur’an itu telah dituliskan dan telah tersusun menurut petunjuk Rasul, walaupun surat-suratnya belum tersusun seperti apa yang dapat dilihat sekarang ini, dan tulisan-tulisannya belum terhimpun dalam satu kesatuan yang terdiri dari benda-benda yang seragam, baik bahannya maupun ukurannya.
- Kegiatan-kegiatan dalam mentadwinkan al-qur’an di masa Rasulullah itu terjadi dalam periode yang kedua, yaitu periode Madaniy, sedangkan dalam periode pertama belumlah begitu tampak, walaupun telah ada juga lembaran-lembaran yang bertuliskan ayat-ayat al-qur’an itu. Hal ini disebabkan suasana yang dihadapi kum muslimin dalam periode pertama tidaklah banyak memberikan kesempatan pada mereka untuk menuliskan ayat-ayat al-qur’an itu secara teratur.
Sumber : Abd. Chalik, Drs. H. A. Chaerudji, “Ulum
Al-Qur’an”. Diadit Media. Jakarta Pusat. 2007.
0 komentar:
Posting Komentar