Rabu, 13 Maret 2013

MAHKUM FIQH

I.                  Pendahuluhan

Dalam kehidupan sehari hari kita tidak bisa hidup seenaknya sendiri, semuanya sudah diatur oleh Allah SWT. Dia-lah sang pembuat hukum yang dititahkan kepada seluruh mukallaf, baik yang berkait dengan hukum taklifi dengan hukum wad’i untuk menyebut istilah hukum atau objek hukum dalam ushul fiqih disebut mahkum fih, karena didalam peristiwa itu ada hukum seperti hukum wajib dan hukum haram. Atau lebih mudahnya adalah perbuatan seorang mukallaf yang terkait dengan perintah syari’ itu adalah mahkum fih, sedangkan seseorang yang di kenai khitob itulah yang disebut mahkum alaih (mukallaf) berikut penjelasan masing-masing
.
II.               Rumusan masalah
A.                 Pengertian mahkum fih ?
B.                 Pengertian mahkum ‘alaih?
C.                 Al-‘Azimah Wa Ar-Rukhsoh?

III.           Pembahasan
A.    Pengertian Mahkum Fih (Obyek Hukum)
Ulama’ usul fiqh menyebutkan, bahwa yang dimaksud dengan Mahkum fih ialah objek hukum syara’ atau perbuatan mukallaf yang berhubungan dengannya.[1]
Misalnya firman Allah yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf, yaitu:
يَاَيُّهَا اَّلذِيْنَ اَمَنُوْا اَوْفُوْا بِا لعُقُوْدِ (الما ئدة:1)
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu.”
Firman di atas berkaitan dengan perbuatan mukallaf, yaitu memenuhi janji. Kemudian memenuhi janji ini dijadikan wajib oleh Allah SWT.
  وَلاَ تَقْتُلُوا اْنَّفْسَ (الانعام)
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa,,,”
Pengharaman yang diambil dari firman tersebut berhubungan dengan salah satu perbuatan mukallaf, yaitu membunuh jiwa, maka ia dijadikan sebagai yang diharamkan.
وَلَا تَيَمَّمُوا اْلخَبِيْثَ مِنْهُ تُنْفِقُوْنَ (البقراة)
Artinya : “...Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya...”
Firman diatas berhubungan dengan salah satu perbuatan manusia, yaitu menafkahkan harta yang buruk-buruk, kemudian ia dijadikan makruh.
Dari uraian-uraian diatas, jelaslah behwa semua perbuatan manusia itu ada hubungannya dengan hukum syara’. Jadi perbuatan itulah yang dinamakan mahkum fih dalam hukum syara’.
Syarat Sahnya Pentaklifan Perbuatan
Perbuatan yang sah untuk dikenakan taklif menurut syara’ ada tiga syarat, yaitu:[2]
Pertama, perbuatan itu harus diketahui oleh mukallaf dengan pengetahuan yang sempurna, sehingga ia mampu untuk melaksanakannya sesuai dengan tuntunan.
Maka nash-nash Al-qur’an yang belum jelas maksudnya, tidak sah mentaklifkannya pada mukallaf kecuali setelah mendapat penjelasan dari Rasulullah Saw.
Firman Allah SWT :
وَاَقِيْمُوا الصَّلَاةَ
Artinya : dan dirikanlah sholat
 Nash Al-qur’an itu belum menjelaskan rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, dan tata cara pelaksanaannya. Bagaimanakah orang yang belum mengetahui rukun-rukunnya, syarat-syaratnya, dan tata cara pelaksanaannya ditaklif untuk mengerjakan sholat? Itulah sebabnya Rasulullah menjelaskan kemujmalan nash Al-qur’an itu dengan sabdanya.
صَلُّوْا كَمَا رَاَيْتُمُوْنِى أُصَلِّىْ
“Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku menunaikan shalat”
Demikian pula haji dan puasa, serta zakat dan segala perbuatan yang berkaitan dengan firman Allah yang mujmal, dimana maksud syar’i tidak dapat diketahui dengan nash itu, maka pentakwilan terhadapnya dan menurut mukallaf untuk mentaatinya tidak sah kecuali sesudah adanya penjelasan.[3]
Kedua, Mukallaf harus mengetahui sumber taklif. seseorang harus mengetahui  bahwa tuntutan itu dari Allah SWT.Sehingga ia melaksanakan berdasarkan ketaatan dengan tujuan melaksanakan perintah  Allah semata. Berarti tidak ada keharusan untuk mengerjakan suatu perbuatan sebelum adanya suatu peraturan yang jelas, hal ini untuk menghindari kesalahan dalam pelaksanaan sesuai tuntutan syara’.
Ketiga, perbuatan yang ditaklif haruslah bersifat mungkin untuk dilaksanakan dan ditinggalkan.
Dengan penjelasan sebagai berikut:
a)      Mengenakan taklif terhadap sesuatu yang mustahil tidak sah. Baik hal itu mustahil karena substansinya atau mustahil karena sesuatu yang lain.
·         Mustahil karena substansi ialah sesuatu yang tidak mungkin terjadi menurut akal.
·         Mustahil karena sesuatu yang lain ialah sesuatu yang bisa terjadi menurut akal manusia, tetapi belum pernah terjadi.
b)      Tidak sah pembebanan (taklif) kepada seseorang, tetapi agar orang lain yang melaksanakan.
 Contoh: Seseorang mengerjakan sholat untuk orang lain.
c)      Tidak sah pembebanan dengan masalah-masalah yang bersangkutan dengan sifat-sifat yang tidak ada daya usaha manusia dalam mengadakannya.
Contoh: Muka merah karena malu.
Dari penjelasan di atas, dapat Dipahami bahwa taklif itu harus sesuatu yang dapat diusahakan oleh manusia.
B.     Pengertian Mahkum ‘Alaih
Mahkum ‘alaih adalah mukallaf yang perbuatannya berkaitan (menyangkut) dengan hukum syara’.[4]
Syarat-syarat orang mukallaf itu ada dua bagian:
1.      Ia harus mampu memahami dalil pentaklifan, sebagaimana ia mampu untuk memahami berbagai nash perundang-undangan yang ditaklifkan padanya dalam Al-Qur’an dan sunnah, baik dengan sendirinya maupun dengan perantaraan orang lain.
2.      Mukallaf haruslah ahli atau layak untuk dikenakan taklif. Ahli yang dimaksud terbagi menjadi dua bagian,  yaitu:
a)      Ahliyyah Wujub adalah kepantasan seseorang untuk menerima haknya dari orang lain dan memenuhi kewajiban kepada orang lain.
b)      Ahliyyah Ada’ yaitu kecakapan bertindak hukum bagi seseorang yang di anggap sempurna untuk mempertanggung jawabkan seluruh perbuatannya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Ukuran untuk menentukan seseorang telah memiliki ahliyyah ada’ adalah aqil baligh dan cerdas.
a)      Keadaan Manusia dalam Kaitannya dengan Ahliyatul Wujub
Ditinjau dari segi Ahliyatul wujub, manusia itu terbagi menjadi dua bagian:
1.      Ahliyyah al wujub an-naqishoh, yaitu apabila seseorang layak menerima hak, akan tetapi tidak layak dibebani kewajiban, atau sebaliknya.
Contoh:
a.       Janin yang masih dalam kandungan ibunya telah mempunyai hak untuk menerima warisan atau wasiat, tetapi ia belum memikul sesuatu kewajiban.
b.      Orang yang meninggal, tetapi dalam keadaan berhutang, maka hutangnya itu harus dibayarkan dari hartanya, dengan pengertian ia harus memenuhi kewajibannya kepada orang lain, sedangkan haknya telah habis dengan kematiannya.
2.      Ahliyyah al wujub al kamilah, yaitu kelayakan untuk memperoleh hak dan dibebani kewajiban bagi seorang anak yang dilahirkan ke dunia sampai dinyatakan baligh dan berakal, sekalipun akalnya masih kurang seperti orang gila.
b)     Keadaan Manusia dalam Kaitannya dengan Ahliyatul Ada’
Manusia ditinjau dari hubungannya dengan ahliyatul ada’ mempunyai tiga keadaan, yaitu:
1.      Orang yang sama sekali tidak mempunyai ahliyatul ada’. Yang termasuk golongan ini adalah anak-anak di masa kecilnya dan orang gila, hal ini disebabkan tidak adanya tamyiz. Semua tingkah laku dan ucapan golongan ini tidak di nilai oleh hukum syara’.
2.      Orang yang telah mumayiz (pintar), tetapi belum baligh. Orang yang termasuk dalam golongan ini adalah anak-anak yang mumayiz sebelum baligh dan ma’tuh yaitu orang yang lemah pikirannya atau orang setengah gila.
3.      Orang yang telah mencapai akil baligh. Pada mulanya ahliyatul ada’ ditentukan dengan akal saja, tetapi karena akal sesuatu yang kurang maka dikaitkan dengan balighnya orang itu.

c)      Beberapa Penghalang Ahliyah
Dalam pembahasan awal bahwa seseorang dalam bertindak hukum di lihat dari segi akal,tetapi yang namanya akal kadang berubah atau hilang sehingga ia tidak mampu lagi dalam bertindak hukum. Seseorang kecakapannya bisa berubah karena di sebabkan oleh hal hal berikut:[5]
a.       Halangan samawiyyah, yaitu halangan yang datangnya dari Allah bukan di sebabkan oleh manusia seperti: gila, dungu, perbudakan, sakit yang berkelanjutan kemudian mati dan lupa.
b.      Halangan kasbi, yaitu halangan yang disebabkan karena adanya usaha manusia, seperti mabuk,bodoh,dan terpaksa.


C.     Al- ‘Azimah wa Ar-Rukhsoh
Al-‘Azimah adalah hukum-hukum umum yang disyariatkan Allah sejak semula.
Ar-Rukhsoh adalah sesuatu yang disyariatkan karena suatu alasan yang memberatkan dalam berbagai keadaan khusus.
a.       Macam-macam Rukhsoh
Ø  Pembolehan hal-hal yang dilarang dalam keadaan darurat. Misalnya, orang yang dipaksa untuk berbuka puasa disiang hari pada bulan ramadlon.
Ø  Pembolehan meninggalkan wajib, apabila ada udzur (alasan) yang membuat pelaksanaannya memberatkan pada mukallaf. Misalnya, Apabila ada seseorang yang sedang sakit parah atau bepergian jauh pada bulan ramadlon, maka ia diperbolehkan berbuka puasa.
Ø  Penghapusan berbagai hukum yang sudah ditentukan Allah kepada kita, termasuk pentaklifan yang berat kepada ummat sebelum kita. Misalnya, pentaklifan untuk memotong tempat najis pada pakaian, membayar seperempat harta untuk zakat, membunuh diri untuk tobat dari maksiat.
Ulama’ hanafiah membagi rukhsoh menjadi dua macam, yaitu :
1)      Rukhsoh Tarfih (peringanan)
Yaitu hukum-hukum azimah masih ada, dan dalilnya juga masih tetap, akan tetapi diberikan rukhsah untuk meninggalkannya sebagai peringanan pada mukallaf. Misalnya, orang yang berbuka puasa di siang hari pada bulan ramadhan.
2)      Rukhsoh Isqath (pengguguran)
Yaitu hukum azimah tidak lagi tetap bersamanya. Misalnya, pembolehan memakan bangkai atau minum khamr ketika kelaparan dan kehausan.[6]
IV.             Kesimpulan
Semua perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara` dinamakan dengan Mahkum Fiih. Akan tetapi ada beberapa syarat tertentu agar perbuatannya dapat dijadikan objek hukum. Dalam mengerjakan tuntutan tersebut tentu mukallaf mengalami kesulitan-kesulitan. Ada yang mampu diatasi manusia seperti : sholat, puasa dan haji. Meskipun pekerjaan ini terasa berat, tapi masih bisa dilakukan oleh mukallaf. Ada kesulitan yang tidak wajar yang munusia tidak sanggup melakukannya seperti puasa terus menerus dan mewajibkan untuk bangun malam, atau suatu pekerjaan sangat berat seperti perang fi- sabilillah, karena hal ini memerlukan pengorbanan jiwa, harta dan sebagainya. Mukallaf yang telah mampu  mengetahui khitob syar’i(tuntutan syara’) maka sudah di kenakan taklif.
Azimah adalah hukum-hukum umum yang sudah di syariatkan Allah SWT. Sedangkan rukhsoh adalah pembolehan sesuatu yang dilarang Allah pada kondisi dan situasi tertentu.
















DAFTAR PUSTAKA

Bakry, Nazar, Fiqh dan Ushul Fiqh, Jakarta, PT. Rajagrafindo Persada, 1991.
Khallaf ,Abdul Wahhab, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang, Dina Utama, 1994.
Zahra, Muhammad Abu, Ushul Fiqih, Jakarta, PT Pustaka Firdaus, 1995.


[1] . Prof.Muhammad Abu Zahra, Ushul Fiqih, (Jakarta : PT Pustaka Firdaus, 1995) hlm. 480

[2] . Drs.Nazar Bakri, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 1991) hal. 162
[3] . . Prof.Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang : Dina Utama, 1994) hlm. 189
[4] .  Drs.Nazar Bakri, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Rajagrafindo Persada, 1991) hal. 158
[5] . Prof.Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang : Dina Utama, 1994) hlm. 205
[6] Ibid. 176

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | SharePoint Demo