Pendahuluan
Al-Qur’an
adalah kalammullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad lewat perantara
malaikat Jibril sebagai mu’jizat. Al-Qur’an adalah sumber ilmu bagi kaum
muslimin yang merupakan dasar-dasar hukum yang mencakup segala hal, baik
aqidah, ibadah, etika, mu’amalah dan sebagainya.
“Dan Kami
turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah
diri.(Q.S.An-Nahl 89).
Mempelajari
isi Al-qur’an akan menambah perbendaharaan baru, memperluas pandangan dan
pengetahuan, meningkatkan perspektif baru dan selalu menemui hal-hal yang
selalu baru. Lebih jauh lagi, kita akan lebih yakin akan keunikan isinya yang
menunjukan Maha Besarnya Allah sebagai penciptanya.Firman Allah :
“Dan
sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Quran) kepada mereka yang
Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami[546]; menjadi petunjuk
dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.(Q.S.Al-A’raf 52)
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Karena itu, ada anggapan bahwa setiap orang yang mengerti bahasa Arab dapat mengerti isi Al-qur’an. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan Al-qur’an dengan bantuan terjemahnya sekalipun tidak mengerti bahasa Arab. Padahal orang Arab sendiri banyak yang tidak mengerti kandungan Al-Qur’an. Bahkan di antara para sahabat dan tabi’in ada yang salah memahami Al-Qur’an karena tidak memiliki kemampuan untuk memahaminya. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui isi kandungan Al-Qur’an diperlukanlah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana, tata cara menafsiri Al-Qur’an. Yaitu Ulumul Qur’an atau Ulum at tafsir. Pembahasan mengenai ulumul Qur’an ini insya Allah akan dibahas secara rinci pada bab-bab selanjutnya.
Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab. Karena itu, ada anggapan bahwa setiap orang yang mengerti bahasa Arab dapat mengerti isi Al-qur’an. Lebih dari itu, ada orang yang merasa telah dapat memahami dan menafsirkan Al-qur’an dengan bantuan terjemahnya sekalipun tidak mengerti bahasa Arab. Padahal orang Arab sendiri banyak yang tidak mengerti kandungan Al-Qur’an. Bahkan di antara para sahabat dan tabi’in ada yang salah memahami Al-Qur’an karena tidak memiliki kemampuan untuk memahaminya. Oleh karena itu, untuk dapat mengetahui isi kandungan Al-Qur’an diperlukanlah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana, tata cara menafsiri Al-Qur’an. Yaitu Ulumul Qur’an atau Ulum at tafsir. Pembahasan mengenai ulumul Qur’an ini insya Allah akan dibahas secara rinci pada bab-bab selanjutnya.
Daftar Isi
Pendahuluan……………………………………………………………………....2
Al-Qur’an
dan Wahyu:
A.
Pengertian
Al-Qur’an…………………………………………………….4-5
B.
Nama-nama
Al-Qur’an…………………………………………………...5-6
C.
Garis Besar
Kandungan Al-Qur’an………………………………………6-7
D.
Pengertian Wahyu………………………………………………………..7-9
E.
Macam-macam
Wahyu…………………………………………………9-13
F.
Perbedaan
Wahyu, Ilham , dan Ta’lim………………………………..13-14
‘Ulumul
Qur’an dan Perkembangannya:
A.
Pengertian
‘Ulumul Qur’an……………………………………………….15
B.
Ruang
Lingkup ‘Ulumul Qur’an………………………………………….16
C.
Pokok-pokok
Bahasan ‘Ulumul Qur’an………………………………...16-17
D.
Sejarah
Perkembangan ‘Ulumul Qur’an………………………………..17-21
Daftar
Pustaka……………………………………………………………………22
Al-Qur’an dan Wahyu
A.
Pengertian Al-Qur’an
1.
Pengertian
Etimologi (Bahasa).
Para Ulama
berbeda pendapat dalam menjelaskan kata Al-Qur’an:
a.
Sebagian
dari mereka berkata bahwa Al-Qur’an merupakan kata jadian dari kata dasar
(membaca). Kata
ini kemudian dijadikan sebagai nama bagi firman Allah yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad SAW. mereka merujuk firman Allah:
Artinya :
“Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka
ikutilah bacaannya itu.” (QS. Al-Qiyamah : 17-18)
b.
Sebagian
dari mereka menjelaskan bahwa kata Al-Qur’an merupakan kata sifat dari kata
dasar
yang artinya menghimpun. Kemudian dijadikan nama bagi firman
Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang menghimpun surat, ayat, kisah,
perintah, dan larangan. Atau menghimpun intisari kitab-kitab suci sebelumnya.
c.
Sebagian
dari mereka mengatakan bahwa kata Al-Qur’an diambil dari kata kerja
(menyertakan),
karena menyertakan surat, ayat, dan huruf-huruf.
d.
Al-Farra’
menjelaskan bahwa kata Al-Qur’an diambil dari kata
(penguat) karena terdiri atas ayat-ayat yang saling menguatkan dan ada kemiripan
satu sama lainnya.
2.
Pengertian
Terminologi (Istilah).
a.
Menurut
Manna’ Al-Qaththan:
Artinya:
“Kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan orang yang membacanya
akan memperoleh pahala.”
b.
Menurut
Al-Jurjani:
Artinya:
“Yang diturunkan kepada Rasulullah SAW, ditulis dalam mushaf, dan diriwayatkan
secara mutawatir tanpa keraguan.”
c.
Menurut Abu
Syahbah:
Artinya:
“Kitab Allah yang diturunkan baik kafadz maupun maknanya kepada Nabi terakhir,
Muhammad SAW. diriwayatkan secara mutawatir, yakni dengan kepastian dan
keyakinan serta ditulis pada mushaf, mulai dari awal surat Al-Fatihah <1>
sampai akhir surat An-Nas <114>.”
d.
Menurut
kalangan pakar Ushul Fiqh, Fiqh, dan Bahasa Arab:
Artinya:
“Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi-Nya, Muhammad. Lafadz-lafadznya,
mengandung mukjizat, membacanya mempunyai nilai ibadah, diturunkan secara
mutawatir, dan ditulis pada mushaf. Mulai dari awal surat Al-Fatihah <1>
sampai akhir surat An-Nas <114>.”
B.
Nama-nama
Al-Qur’an
Di dalam
kitab Al-Ithahan karangan As-Suyuty, diterangkan bahwa Abul Ma’ali
Syaizalah Al-Burhan fi Musykilatil Qur’an (wafat tahun 494 H) menyebutkan
55 buah nama untuk Al-Qur’an. Bahkan Abul Hasan Al-Haraly (wafat tahun 647)
menerangkan bahwa lebih dari 90 nama untuk Al-Qur’an.
Dr. Subhi
Al-Salih berpendapat bahwa sebagian ulama berlebih-lebihan di dalam menghitung
jumlah nama-nama untuk Al-Qur’an, sebab mereka mencampur-adukkan antara nama
dan sifatnya.
Di antara nama-nama
kitab suci umat Islam yang sangat terkenal:
a.
Al-Qur’an,
di antaranya terdapat di surat Al-Baqarah : 185,
Artinya:
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu
dan pembeda (antara yang baik dan batil).”
b.
Al-Furqan,
di antaranya terdapat di surat Al-Furqan :1,
Artinya:
“Maha Suci (Allah) yang telah menurunkan Al-Furqan kepada hamba-Nya, agar dia
menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.
c.
Al-Kitab, di
antara lain dapat ditemukan di surat An-Nahl : 89,
Artinya:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab untuk menjelaskan segala sesuatu dan
petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri
(kepada Allah).
d.
Adz-Dzikr,
dapat kita jumpai dalam surat Al-Hijr,
Artinya:
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr (Al-Qur’an) dan sesungguhnya
Kami (pula lah) yang memeliharanya.”
C.
Garis Besar
Kandungan Al-Qur’an
Di dalam
surat-surat dan ayat-ayat Al-Qur’an terkandung kandungan yang secara garis
besar dapat kita bagi menjadi beberapa hal pokok atau hal utama beserta
pengertian atau arti definisi dari masing-masing kandungan inti sarinya, yaitu
sebagaimana berikut ini :
1.
Aqidah /
Akidah
Aqidah
adalah ilmu yang mengajarkan manusia mengenai kepercayaan yang pasti wajib
dimiliki oleh setiap orang di dunia. Al-Qur’an mengajarkan akidah tauhid kepada
kita yaitu menanamkan keyakinan terhadap Allah SWT yang satu yang tidak pernah
tidur dan tidak beranak-pinak. Percaya kepada Allah SWT adalah salah satu butir
rukun iman yang pertama. Orang yang tidak percaya terhadap rukun iman disebut
sebagai orang-orang kafir.
2.
Ibadah
Ibadah
adalah taat, tunduk, ikut, atau nurut dari segi bahasa. Dari pengertian
“Fuqaha”, ibadah adalah segala bentuk ketaatan yang dijalankan atau dikerjakan
untuk mendapat Ridha dari Allah SWT. Bentuk ibadah dasar dala ajaran agama
Islam yakni seperti yang tercantum dalam lima butir rukun Islam. Mengucapkan
dua kalimat syahadat, shalat lima waktu, membayar zakat, puasa di bulan suci
Ramadhan dan beribadah [ergi haji bagi yang telah mampu menjalankannya.
3.
Akhlaq /
Akhlak
Akhlak
adalah perilaku yang dimiliki oleh manusia, baik akhlak yang terpuji atau
akhlakul karimah maupun yang tercela atau akhlakul madzmumah. Allah SWT
mengutus Nabi Muhammad SAW tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memperbaiki
akhlaq. Setiap manusia harus mengikuti apa yang diperintah-Nya dan menjauhi
larangan-Nya.
4.
Hukum-hukum
Hukum yang
ada di Al-Qur’an adalah memberi suruhan atau perintah kepada orang yang beriman
untuk mengadili dan memberikan penjatuhan hukuman hokum pada sesame jenis yang
terbukti bersalah. Hokum dalam Islam berdasarkan Al-Qur’an ada beberapa jenis
atau macam seperti junayat, mu’amalat, munakahat, faraidh, dan jihad.
5.
Peringatan /
Tadzkir
Tadzkir atau
peringatan adalah sesuatu yang member peringatan kepada manusia akan
Allah SWT berupa siksa neraka atau waa’id. Tadzkir juga bisa berupa kabar
gembira bagi orang-orang yang beriman kepada-Nya dengan balasan berupa nikmat
surge jannah atau waa’ad. Di samping itu ada pula gambaran yang menyenangkan di
dalam Al-Qur;an atau disebut juga targhib dan kebalikannya ngambaran yang
menakutkan dengan istilah lainnya tarhib.
6.
Sejarah-sejarah
atau Kisah-kisah
Sejarah atau
kisah adalah cerita mengenai orang-orang yang terdahulu baik yang mendapatkan
kejayaan akibat taat kepada Allah SWT serta ada juga yang mengalami kebinasaan
akibat tidak taat atau ingkar terhadap Allah SWT. Dalam menjalankan kehidupan
sehari-hari sebaiknya kita mengambil pelajaran yang baik-baik dari sejarah masa
lalu atau dengan istilah lain ikhtibar.
7.
Dorongan
untuk Berpikir
Di dalam
Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang mengulas suatu bahasan yang memerlukan
pemikiran manusia untuk mendapatkan manfaat dan juga membuktikan kebenarannya,
terutama mengenai alam semesta.
D.
Pengertian
Wahyu
Dikatakan wahaitu
ilaih dan auhaitu, bila kita berbicara kepadanya agar tidak
diketahui orang lain. Wahyu adalah isyarat yang cepat. Itu terjadi melalui
pembicaraan yang berupa rumus dan lambing, dan terkadang melalui suara semata,
dan terkadang pula melalui isyarat dengan sebagian anggota badan.
Al-wahy atau
wahyu adalah kata masdar (infinitive); dan materi kata itu menunjukkan
dua dasar, yaitu: tersembunyi dan cepat. Oleh sebab itu, maka dikatakan
bahwa wahyu ialah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat yang khusus
ditujukan kepada orang yang diberi tahu tanpa diketahui orang lain. Inilah
pengertian masdarnya. Tetapi terkadang juga bahwa yang dimaksudkan adalah al-muha
yaitu pengertian isim maf’ul, yang diwahyukan. Pengertian wahyu dalam
arti bahasa meliputi:
1.
Ilham
sebagai bawaan dasar manusia, seperti wahyu terhadap ibu Nabi Musa:
“Dan Kami ilhamkan kepada Ibu Musa:
“Susuilah dia…” (al-Qasas [28]:7)
2.
Yang berupa
naluri pada binatang, seperti wahyu kepada lebah:
“Dan Tuhanmu
telah mewahyukan kepada lebah: ‘Buatlah sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon
kayu, dan di rumah-rumah yang didirikan manusia’” (an-Nahl
[16]: 68)
3.
Isyarat yang
cepat melalui rumus dan kode, seperti isyarat Zakaria yang diceritakan Qur’an:
“Maka
keluarlah dia dari mihrab, lalu member isyarat kepada mereka: ‘Hendaklah kamu
bertasbih di waktu pagi dan petang.’” (Maryam [19]: 11)
4.
Bisikan dan
tipu daya setan untuk menjadikan yang buruk kelihatan indah dalam diri manusia.
“Sesungguhnya
syaitan-syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah
kamu.” (al-An’am [6]: 121)
“Dan
demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap Nabi itu musuh, yaitu syaitan-syaitan
dari jenis manusia dan dari jenis jin; sebagian mereka membisikkan kepada
sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia.”
(al-An’am [6]: 112)
5.
Apa yang
disampaikan Allah kepada malaikatnya berupa suatu perintah untuk dikerjakan.
“Ingatlah
ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat:n’Sesungguhnya Aku bersama kamu,
maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang beriman.’” (al-Anfal [8]: 12)
Sedang wahyu
Allah kepada para Nabi-Nya secara syara’ mereka didefinisikan sebagai “kalam
Allah yang diturunkan kepada seorang Nabi.” Definisi ini menggunakan pengertian
maf’ul, yaitu al-muha (yang diwahyukan). Ustadz Muhammad Abduh
mendefinisikan wahyu di dalam Risalatut Tauhid sebagai
“pengetahuan yang didapati seseorang dari dalam dirinya dengan disertai
keyakinan pengetahuan itu datang dari Allah, baik dengan melalui perantara
ataupun tidak; yang pertama melalui suara yang terjelma dalam telinganya atau
tanpa suara sama sekali.
E.
Macam-macam
wahyu
Wahyu oleh
Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam merupakan peristiwa yang sangat
besar. Turunnya merupakan peristiwa yang tidak disangka-sangka. Begitulah Allah
memberikan titahNya kepada manusia terpilih, yaitu Muhammad bin Abdullah bin
Abdul Muthalib.
Wahyu, secara bahasa artinya adalah, pemberitahuan secara rahasia nan cepat. Secara syar'i, wahyu berarti pemberitahuan dari Allah kepada para nabiNya dan para rasulNya tentang syari'at atau kitab yang hendak disampaikan kepada mereka, baik dengan perantara atau tanpa perantara. Wahyu secara syar'i ini jelas lebih khusus, dibandingkan dengan makna wahyu secara bahasa, baik ditinjau dari sumbernya, sasarannya maupun isinya.
Ada bermacam-macam wahyu syar'i, dan yang terpenting ialah sebagaimana penjelasan berikut.
Wahyu, secara bahasa artinya adalah, pemberitahuan secara rahasia nan cepat. Secara syar'i, wahyu berarti pemberitahuan dari Allah kepada para nabiNya dan para rasulNya tentang syari'at atau kitab yang hendak disampaikan kepada mereka, baik dengan perantara atau tanpa perantara. Wahyu secara syar'i ini jelas lebih khusus, dibandingkan dengan makna wahyu secara bahasa, baik ditinjau dari sumbernya, sasarannya maupun isinya.
Ada bermacam-macam wahyu syar'i, dan yang terpenting ialah sebagaimana penjelasan berikut.
Pertama : Taklimullah (Allah Azza wa Jalla berbicara langsung) kepada Nabi-Nya dari belakang hijab. Yaitu Allah SWT menyampaikan apa yang hendak Dia sampaikan, baik dalam keadaan terjaga maupun dalam keadaan tidur.
Sebagai contoh dalam keadaan terjaga, yaitu seperti ketika Allah Azza wa Jalla berbicara langsung dengan Musa Alaihissallam, dan juga dengan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pada peristiwa isra' dan mi'raj. Allah berfirman tentang nabi Musa :
" …Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung" [an Nisaa`/4 : 164].
Adapun contoh ketika dalam keadaan tidur, yaitu sebagaimana diceritakan dalam hadits dari Ibnu Abbas dan Mu'adz bin Jabal. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
Aku
didatangi (dalam mimpi) oleh Rabb-ku dalam bentuk terbaik, lalu Dia berfirman :
"Wahai, Muhammad!"
Aku menjawab,"Labbaik wa sa'daika."
Dia berfirman,"Apa yang diperdebatkan oleh para malaikat itu?"
Aku menjawab,"Wahai, Rabb-ku, aku tidak tahu," lalu Dia meletakkan tanganNya di kedua pundakku, sampai aku merasakan dingin di dadaku. Kemudian, aku dapat mengetahui semua yang ada di antara timur dan barat.
Allah Azza wa Jalla berfirman,"Wahai, Muhammad!"
Aku menjawab,"Labbaik wa sa'daika!"
Dia berfirman,"Apa yang diperdebatkan oleh para malaikat itu?"
Aku menjawab,"………". (Al hadits).
Dalam hal wahyu ini, para ulama salaf, Ahli Sunnah wal Jama'ah memegangi pendapat, bahwa Nabi Musa Alaihissallam dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keduanya pernah mendengar kalamullah al azaliy al qadim [1], yang merupakan salah satu sifat di antara sifat-sifat Allah. Pendapat ini sangat berbeda dan tidak seperti yang dikatakan oleh sebagian orang, bahwa yang terdengar adalah bisikan hati atau suara yang diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla pada sebatang pohon.
Kedua : Allah Azza wa Jalla menyampaikan risalahNya melalui perantaraan Malaikat Jibril, dan ini meliputi beberapa cara, yaitu :
1). Malaikat Jibril menampakkan diri dalam wujud aslinya. Cara seperti ini sangat jarang terjadi, dan hanya terjadi dua kali. Pertama, saat Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah masa vakum dari wahyu, yaitu setelah Surat al 'Alaq diturunkan, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menerima wahyu beberapa saat. Masa ini disebut masa fatrah, artinya kevakuman. Kedua, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Malaikat Jibril dalam wujud aslinya, yaitu saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dimi'rajkan.
2). Malaikat Jibril Alaihissallam terkadang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam wujud seorang lelaki. Biasanya dalam wujud seorang lelaki yang bernama Dihyah al Kalbiy. Dia adalah seorang sahabat yang tampan rupawan. Atau terkadang dalam wujud seorang lelaki yang sama sekali tidak dikenal oleh para sahabat. Dalam penyampaian wahyu seperti ini, semua sahabat yang hadir dapat melihatnya dan mendengar perkataannya, akan tetapi mereka tidak mengetahui hakikat permasalahan ini. Sebagaimana diceritakan dalam hadits Jibril yang masyhur, yaitu berisi pertanyaan tentang iman, Islam dan ihsan. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Di awal hadits ini, 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu menceritakan :
Aku menjawab,"Labbaik wa sa'daika."
Dia berfirman,"Apa yang diperdebatkan oleh para malaikat itu?"
Aku menjawab,"Wahai, Rabb-ku, aku tidak tahu," lalu Dia meletakkan tanganNya di kedua pundakku, sampai aku merasakan dingin di dadaku. Kemudian, aku dapat mengetahui semua yang ada di antara timur dan barat.
Allah Azza wa Jalla berfirman,"Wahai, Muhammad!"
Aku menjawab,"Labbaik wa sa'daika!"
Dia berfirman,"Apa yang diperdebatkan oleh para malaikat itu?"
Aku menjawab,"………". (Al hadits).
Dalam hal wahyu ini, para ulama salaf, Ahli Sunnah wal Jama'ah memegangi pendapat, bahwa Nabi Musa Alaihissallam dan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keduanya pernah mendengar kalamullah al azaliy al qadim [1], yang merupakan salah satu sifat di antara sifat-sifat Allah. Pendapat ini sangat berbeda dan tidak seperti yang dikatakan oleh sebagian orang, bahwa yang terdengar adalah bisikan hati atau suara yang diciptakan oleh Allah Azza wa Jalla pada sebatang pohon.
Kedua : Allah Azza wa Jalla menyampaikan risalahNya melalui perantaraan Malaikat Jibril, dan ini meliputi beberapa cara, yaitu :
1). Malaikat Jibril menampakkan diri dalam wujud aslinya. Cara seperti ini sangat jarang terjadi, dan hanya terjadi dua kali. Pertama, saat Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah masa vakum dari wahyu, yaitu setelah Surat al 'Alaq diturunkan, lalu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menerima wahyu beberapa saat. Masa ini disebut masa fatrah, artinya kevakuman. Kedua, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihat Malaikat Jibril dalam wujud aslinya, yaitu saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dimi'rajkan.
2). Malaikat Jibril Alaihissallam terkadang datang kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam wujud seorang lelaki. Biasanya dalam wujud seorang lelaki yang bernama Dihyah al Kalbiy. Dia adalah seorang sahabat yang tampan rupawan. Atau terkadang dalam wujud seorang lelaki yang sama sekali tidak dikenal oleh para sahabat. Dalam penyampaian wahyu seperti ini, semua sahabat yang hadir dapat melihatnya dan mendengar perkataannya, akan tetapi mereka tidak mengetahui hakikat permasalahan ini. Sebagaimana diceritakan dalam hadits Jibril yang masyhur, yaitu berisi pertanyaan tentang iman, Islam dan ihsan. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim. Di awal hadits ini, 'Umar bin Khaththab Radhiyallahu 'anhu menceritakan :
“Pada suatu saat, kami sedang duduk bersama Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul seorang lelaki yang berpakaian sangat putih, sangat hitam rambutnya, tidak terlihat tanda-tanda melakukan perjalanan jauh, dan tidak tidak ada seorangpun di antara kami yang mengenalnya, sampai dia duduk di dekat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
Kemudian di akhirnya, yaitu sesaat setelah orang itu pergi, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya kepada Umar Radhiyallahu 'anhu :
"Wahai, 'Umar. Tahukah engkau, siapakah orang yang bertanya tadi?"
Aku menjawab,"Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui," (kemudian)
Rasulullah bersabda,"Dia itu adalah Malaikat Jibril datang kepada kalian
untuk mengajarkan kepada kalian din (agama) kalian."
Ini menunjukkan, meskipun para sahabat dapat melihatnya dan bisa mendengar suaranya, namun mereka tidak mengetahui jika dia adalah Malaikat Jibril yang datang membawa wahyu. Mereka mengerti setelah diberitahu oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
3). Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun ia tidak terlihat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui kedatangan Malaikat Jibril dengan suara yang mengirinya. Terkadang seperti suara lonceng, dan terkadang seperti dengung lebah. Inilah yang terberat bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga dilukiskan saat menerima wahyu seperti ini, wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berubah. Meski pada cuaca yang sangat dingin, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bermandikan keringat, dan pada saat itu bobot fisik Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berubah secara mendadak.
Sebagaimana diceritakan oleh salah seorang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu, dia berkata : "Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sementara itu paha beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang berada di atas pahaku. Lalu paha beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi berat, sampai aku khawatir pahaku akan hancur".[2]
Beratnya menerima wahyu dengan cara seperti ini, juga diceritakan sendiri oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa ass ditanya :
Ini menunjukkan, meskipun para sahabat dapat melihatnya dan bisa mendengar suaranya, namun mereka tidak mengetahui jika dia adalah Malaikat Jibril yang datang membawa wahyu. Mereka mengerti setelah diberitahu oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.
3). Malaikat Jibril mendatangi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, namun ia tidak terlihat. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui kedatangan Malaikat Jibril dengan suara yang mengirinya. Terkadang seperti suara lonceng, dan terkadang seperti dengung lebah. Inilah yang terberat bagi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga dilukiskan saat menerima wahyu seperti ini, wajah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berubah. Meski pada cuaca yang sangat dingin, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bermandikan keringat, dan pada saat itu bobot fisik Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berubah secara mendadak.
Sebagaimana diceritakan oleh salah seorang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit Radhiyallahu 'anhu, dia berkata : "Allah Azza wa Jalla menurunkan wahyu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sementara itu paha beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam sedang berada di atas pahaku. Lalu paha beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjadi berat, sampai aku khawatir pahaku akan hancur".[2]
Beratnya menerima wahyu dengan cara seperti ini, juga diceritakan sendiri oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa ass ditanya :
"Wahai, Rasulullah. Bagaimanakah cara wahyu sampai kepadamu?" Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,"Terkadang wahyu itu datang kepadaku seperti suara lonceng, dan inilah yang terberat bagiku, dan aku memperhatikan apa dia katakan. Dan terkadang seorang malaikat mendatangi dengan berwujud seorang lelaki, lalu dia menyampaikannya kepadaku, maka akupun memperhatikan apa yang dia ucapkan."
Berdasarkan riwayat dan penjelasan dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ini, maka dapat dipahami bahwa saat menerima semua wahyu, Rasulullah merasa berat. Namun, yang paling berat ialah cara yang semacam ini.
Ketiga : Wahyu disampaikan dengan cara dibisikkan ke dalam kalbu.
Yaitu Allah Azza wa Jalla atau Malaikat Jibril meletakkan wahyu yang hendak disampaikan ke dalam kalbu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam disertai pemberitahuan bahwa, ini merupakan dari Allah Azza wa Jalla. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Dunya dalam kitab al Qana'ah, dan Ibnu Majah, serta al Hakim dalam al Mustadrak. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Sesungguhnya Ruhul Quds (Malaikat Jibril) meniupkan ke dalam kalbuku : "Tidak akan ada jiwa yang mati sampai Allah Azza wa Jalla menyempurnakan rizkinya. Maka hendaklah kalian bertakwa kepada Allah, dan carilah rizki dengan cara yang baik. Janganlah keterlambatan rizki membuat salah seorang di antara kalian mencarinya dengan cara bermaksiat kepada Allah. Sesungguhnya apa yang di sisi Allah Azza wa Jalla tidak akan bisa diraih, kecuali dengan mentaatiNya".
Keempat : Wahyu diberikan Allah Azza wa Jalla dalam bentuk ilham.
Yaitu Allah memberikan ilmu kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, saat beliau berijtihad pada suatu masalah.
Kelima : Wahyu diturunkan melalui mimpi.
Yaitu Allah Azza wa Jalla terkadang memberikan wahyu kepada para nabiNya dengan perantaraan mimpi. Sebagai contoh, yaitu wahyu yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim Alaihissalllam agar menyembelih anaknya. Peristiwa ini diceritakan oleh Allah Azza wa Jalla:
"Maka
tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim,
Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa
aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab:
"Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah
kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". [ash Shaffat/37 :
102].
Demikian cara-cara penerimaan wahyu Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semua jenis wahyu ini dibarengi dengan keyakinan dari si penerima wahyu, bahwa apa yang diterima tersebut benar-benar datang dari Allah Azza wa Jalla, bukan bisikan jiwa, apalagi tipu daya setan.
Demikian cara-cara penerimaan wahyu Allah Azza wa Jalla yang diberikan kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Semua jenis wahyu ini dibarengi dengan keyakinan dari si penerima wahyu, bahwa apa yang diterima tersebut benar-benar datang dari Allah Azza wa Jalla, bukan bisikan jiwa, apalagi tipu daya setan.
F.
Perbedaan
Wahyu, Ilham, dan Ta’lim
Ketiga
istilah ini memiliki kesamaan, bahwa semuanya sama-sama menunjukkan pengetahuan
yang bersumber dari Allah Swt. Perbedaannya adalah, wahyu hanya diperuntukkan
bagi orang-orang tertentu yang dipilih oleh Allah, yaitu para Nabi dan Rasul;
sedangkan ilham dan ta’lim (ilmu) diberikan oleh Allah kepada semua manusia.
Pengertian
ilham, menurut pendapat sebagian ulama, sebagaimana dikemukakan oleh Hasbi
Ash-Shiddieqie, ialah “menuangkan suatu pengetahuan kedalam jiwa yang menuntut
penerimanya supaya mengerjakannya, tanpa didahului dengan ijtihad dan
penyelidikan hujjah-hujjah agama”. Sejalan dengan pendapat ini, Al-Jurjani
dalam Kitāb At-Ta’rīfāt mendefinisikan, bahwa ilham ialah “sesuatu yang
dilimpahkan ke dalam jiwa dengan cara pemancaran, ia merupakan ilmu yang ada di
dalam hati/jiwa, dan dengannya seseorang tergerak untuk melakukan sesuatu tanpa
didahului dengan pemikiran”.
Dalam pengertian
ini hampir sama dengan pengertian instink yang dikenal dalam dunia Psikologi,
yaitu “pola tingkahlaku yang merupakan karakteristik-karakteristik spesi
tertentu; tingkahlaku yang diwariskan dan dilakukan secara berulang-ulang yang
merupakan khas spesi tertentu. Bahkan menurut Sigmund Freud, ia merupakan
sumber energi atau dorongan primal yang tidak dapat dipecahkan. Lebih lanjut
Freud menambahkan, instink itu terbagi dua: instink kehidupan (Eros) dan
instink Kematian (Tahanatos)”.
Dua macam
instink (ilham) yang terdapat dalam jiwa setiap manusia juga diungkapkan dalam
Aquran dengan sebutan Fujur dan Taqwa. Sebagaimana termaktub dalam Alquran,
surat Al-Syams/91: 8,
Artinya :
“Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketaqwaannya.”
(QS.
Asy-Syams/91:8).
Dua macam
instink yang disebutkan dalam ayat di atas adalah instink atau kecendrungan
untuk berbuat buruk (Fujur) dan
instink atau kecendrungan untuk berbuat baik (Taqwa). Kedua
macam ini bersifat potensial. Artinya, setiap manusia
memiliki potensi untuk berbuat baik dan berbuat buruk. Karena sifatnya yang
potensial, maka aktualisasi instink ini tergantung pada kecendrungan/kemauan
manusia untuk mengaktualkan instink mana dari kedua instink tersebut. Jika
seorang manusia memiliki kecendrungan untuk mengaktualkan instink keburukan (fujur),
maka yang akan dominan dalam dirinya adalah sifat kejahatan; sehingga jadilah
dia sebagai penjahat, pengingkar terhadap perintah dan larangan Allah. Demikian
pula sebaliknya, jika instink kebaikan yang dikembangkan/diaktualkan, maka
jadilah dia sebagai manusia yang baik, patuh terhadap perintah dan larangan
Allah.
Dari
pengertian ini dapat disimpulkan, bahwa perbedaan antara kedua istilah yang
disebutkan terakhir (ilham dan ta’lim) terletak pada proses/cara
memperolehnya. Ilham hanya dapat diperoleh atas kehendak Allah, tanpa usaha
manusia; sedangkan ta’lim (ilmu) harus melalui usaha manusia; kecuali ilmu
ladunniy yang dalam pandangan ahli tasawwuf proses perolehannya sama dengan
ilham.
‘Ulumul Qur’an dan Perkembangannya
A.
Pengertian
‘Ulumul Qur’an
Secara
etimologi, kata Ulumul Qur’an berasal dari bahasa Arab yang terdiri dari dua
kata, yaitu “ulum” dan “Al-Qur’an”. Kata ulum adalah bentuk jama’ dari kata
“ilmu” yang berarti ilmu-ilmu. Kata ulum yang disandarkan kepada kata Al-Qur’an
telah memberikan pengertian bahwa ilmu ini merupakan kumpulan sejumlah ilmu
yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari segi keberadaanya sebagai
Al-Qur’an maupun dari segi pemahaman terhadap petunjuk yang terkandung di
dalamnaya. Dengan demikian, ilmu tafsir, ilmu qira’at, ilmu rasmil Qur’an, ilmu
I’jazil Qur’an, ilmu asbabun nuzul, dan ilmu-ilmu yang ada kaitanya dengan
Al-Qur’an menjadi bagian dari ulumul Qur’an.
Sedangkan
menurut terminologi terdapat berbagai definisi yang dimaksud dengan ulumul
Qur’an diantara lain :
· Assuyuthi
dalam kitab itmamu al-Dirayah mengatakan :
“Ilmu
yang membahas tentang keadaan Al-Qur’an dari segi turunya, sanadnya, adabnya
makna-maknanya, baik yang berhubungan lafadz-lafadznya maupun yang berhubungan
dengan hukum-hukumnya, dan sebagainya”.
· Al-Zarqany
memberikan definisi sebagai berikut:
“Beberapa
pembahasan yang berhubungan dengan Al-Qur’an Al-Karim dari segi turunya,
urutanya, pengumpulanya, penulisanya, bacaanya, penafsiranya, kemu’jizatanya,
nasikh mansukhnya, penolakan hal-hal yang bisa menimbulkan keraguan
terhadapnya, dan sebagainya”.
Dari
pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa ulumul qur’an adalah ilmu yang membahas
hal-hal yang berhubungan dengan Al-Qur’an, baik dari aspek keberadaanya sebagai
Al-Qur’an maupun aspek pemahaman kandunganya sebagai pedoman dan petunjuk bagi
manusia atau ilmu-ilmu yang berhubungan dengan berbagai aspek yang terkait
dengan keperluan membahas al-Qur’an.
B.
Ruang
Lingkup ‘Ulumul Qur’an
Ulumul
Qur’an merupakan suatu ilmu yang mempunyai ruang lingkup pembahasan yang luas.
Ulumul Qur’an meliputi semua ilmu yang ada kaitanya dengan Al-Qur’an,
baik berupa ilmu-ilmu agama, seperti ilmu tafsir maupun ilmu-ilmu bahasa Arab,
seperti ilmu balaghah dan ilmu I’rab al-Qur’an. Disamping itu, masih banyak
lagi ilmu-ilmu yang tercakup di dalamnya. Dalam kitab Al- Itqan, Assyuyuthi
menguraikan sebanyak 80 cabang ilmu. Dari tiap-tiap cabang terdapat beberapa
macam cabang ilmu lagi. Kemudian dia mengutip Abu Bakar Ibnu al_Araby yang
mengatakan bahwa ulumul qur’an terdiri dari 77450 ilmu. Hal ini didasarkan
kepada jumlah kata yang terdapat dalam al-qur’an dengan dikalikan empat. Sebab,
setiap kata dalam al-Qur’an mengandung makna Dzohir, batin, terbatas, dan tidak
terbatas. Perhitungan ini masih dilihat dari sudut mufrodatnya. Adapun jika
dilihat dari sudut hubungan kalimat-kalimatnya, maka jumlahnya menjadi tidak
terhitung.
Firman Allah
:
“Katakanlah:
Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh
habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun
Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).”(Q.S. Al-Kahfi 109)
C.
Pokok-pokok
Bahasan ‘Ulumul Qur’an
Secara garis besar Ilmu alQur’an terbagi dua pokok bahasan yaitu :
1. Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas tentang macam-macam qira’at, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.
2. Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafadz yang ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
1. Ilmu yang berhubungan dengan riwayat semata-mata, seperti ilmu yang membahas tentang macam-macam qira’at, tempat turun ayat-ayat Al-Qur’an, waktu-waktu turunnya dan sebab-sebabnya.
2. Ilmu yang berhubungan dengan dirayah, yakni ilmu yang diperoleh dengan jalan penelaahan secara mendalam seperti memahami lafadz yang ghorib (asing) serta mengetahui makna ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum.
Namun, Ash-Shidiqie memandang segala macam pembahasan ulumul Qur’an itu kembali
kepada beberapa pokok pembahasan saja seperti :
A. Nuzul. Permbahasan ini menyangkut dengan ayat-ayat yang menunjukan tempat dan waktu turunya ayat Al-Qur’an misalnya : makkiyah, madaniyah, hadhariah, safariyah, nahariyah, lailiyah, syita’iyah, shaifiyah, dan firasyiah. Pembahasan ini juga meliputi hal yang menyangkut asbabun nuzul dan sebagainya.
B. Sanad. Pembahasan ini meliputi hal-hal yang menyangkut sanad yang mutawattir, ahad, syadz, bentuk-bentuk qira’at nabi, para periwayat dan para penghapal Al-Qur’an Al-Qur’an, dan Cara Tahammul (penerimaan riwayat).
C. Ada’ al-Qira’ah. Pembahasan ini menyangkut waqof, ibtida’, imalah, madd, takhfif hamzah, idghom.
D. Pembahasan yang menyangkut lafadz Al-Qur’an, yaitu tentang gharib, mu,rab, majaz, musytarak, muradif, isti’arah, dan tasybih.
E. Pembahasan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum, yaitu ayat yang bermakna Amm dan tetap dalam keumumanya, Amm yang dimaksudkan khusus, Amm yang dikhususkan oleh sunnah, nash, dhahir, mujmal, mufashal, manthuq, mafhum, mutlaq, muqayyad, muhkam, mutasyabih, musykil, nasikh mansukh, muqaddam, mu’akhar, ma’mul pada waktu tertentu, dan ma’mul oleh seorang saja.
F. Pembahasan makna Al-Qur’anyang berhubungan dengan lafadz, yaitu fashl, washl, ijaz, ithnab, musawah, dan qashr.
A. Nuzul. Permbahasan ini menyangkut dengan ayat-ayat yang menunjukan tempat dan waktu turunya ayat Al-Qur’an misalnya : makkiyah, madaniyah, hadhariah, safariyah, nahariyah, lailiyah, syita’iyah, shaifiyah, dan firasyiah. Pembahasan ini juga meliputi hal yang menyangkut asbabun nuzul dan sebagainya.
B. Sanad. Pembahasan ini meliputi hal-hal yang menyangkut sanad yang mutawattir, ahad, syadz, bentuk-bentuk qira’at nabi, para periwayat dan para penghapal Al-Qur’an Al-Qur’an, dan Cara Tahammul (penerimaan riwayat).
C. Ada’ al-Qira’ah. Pembahasan ini menyangkut waqof, ibtida’, imalah, madd, takhfif hamzah, idghom.
D. Pembahasan yang menyangkut lafadz Al-Qur’an, yaitu tentang gharib, mu,rab, majaz, musytarak, muradif, isti’arah, dan tasybih.
E. Pembahasan makna Al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum, yaitu ayat yang bermakna Amm dan tetap dalam keumumanya, Amm yang dimaksudkan khusus, Amm yang dikhususkan oleh sunnah, nash, dhahir, mujmal, mufashal, manthuq, mafhum, mutlaq, muqayyad, muhkam, mutasyabih, musykil, nasikh mansukh, muqaddam, mu’akhar, ma’mul pada waktu tertentu, dan ma’mul oleh seorang saja.
F. Pembahasan makna Al-Qur’anyang berhubungan dengan lafadz, yaitu fashl, washl, ijaz, ithnab, musawah, dan qashr.
D.
Sejarah
Perkembangan ‘Ulumul Qur’an
Sejarah
perkembangan ulumul quran dimulai menjadi beberapa fase, dimana tiap-tiap fase
menjadi dasar bagi perkembangan menuju fase selanjutnya, hingga ulumul quran
menjadi sebuah khusus yang dipelajari dan dibahas secara khusus pula.
Berikut beberapa fase / tahapan perkembangan ulumul quran.
A. ‘Ulumul Qur’an pada Masa Rasulullah SAW.
A. ‘Ulumul Qur’an pada Masa Rasulullah SAW.
Embrio awal ulumul quran pada masa ini berupa penafsiran ayat Al-Quran langsung dari Rasulullah SAW kepada para sahabat, begitu pula dengan antusiasime para sahabat dalam bertanya tentang makna suatu ayat, menghafalkan dan mempelajari hukum-hukumnya.
a. Rasulullah SAW menafsirkan kepada sahabat beberapa ayat.
Dari Uqbah bin Amir ia berkata : " aku pernah mendengar Rasulullah SAW berkata diatas mimbar, "dan siapkan untuk menghadapi mereka kekuatan yang kamu sanggupi (Anfal :60 ), ingatlah bahwa kekuatan disini adalah memanah" (HR Muslim)
b. Antusiasme sahabat dalam menghafal dan mempelajari Al-Quran.
Diriwayatkan dari Abu Abdurrrahman as-sulami, ia mengatakan : " mereka yang membacakan qur'an kepada kami, seperti Ustman bin Affan dan Abdullah bin Mas'ud serta yang lain menceritakan, bahwa mereka bila belajar dari Nabi sepuluh ayat mereka tidak melanjutkannya, sebelum mengamalkan ilmu dan amal yang ada didalamnya, mereka berkata 'kami mempelajari qur'an berikut ilmu dan amalnya sekaligus.'"
c. Larangan Rasulullah SAW untuk menulis selain qur'an, sebagai upaya menjaga kemurnian AlQuran.
Dari Abu Saad al- Khudri, bahwa Rasulullah SAW berkata: Janganlah kamu tulis dari aku; barang siapa menuliskan aku selain qur'an, hendaklah dihapus. Dan ceritakan apa yang dariku, dan itu tiada halangan baginya, dan barang siapa sengaja berdusta atas namaku, ia akan menempati tempatnya di api neraka."(HR Muslim)
B. ‘Ulumul Qur’an pada Masa Khalifah
Pada masa khalifah, tahapan perkembangan awal (embrio) ulumul quran mulai berkembang pesat, diantaranya dengan kebijakan-kebijakan para khalifah sebagaimana berikut :
a. Khalifah Abu Bakar :dengan Kebijakan Pengumpulan/Penulisan Al-Quran yg pertama yang diprakarsai oleh Umar bin Khottob dan dipegang oleh Zaid bin Tsabit
b. Kekhalifahan Usman Ra : dengan kebijakan menyatukan kaum muslimin pada satu mushaf, dan hal itupun terlaksana. Mushaf itu disebut mushaf Imam. Salinan-salinan mushaf ini juga dikirimkan ke beberapa propinsi. Penulisan mushaf tersebut dinamakan ar-Rosmul 'Usmani yaitu dinisbahkan kepada Usman, dan ini dianggap sebagai permulaan dari ilmu Rasmil Qur'an.
c. Kekalifahan Ali Ra :dengan kebijakan perintahnya kepada Abu 'aswad Ad-Du'ali meletakkan kaidah-kaidah nahwu, cara pengucapan yang tepat dan baku dan memberikan ketentuan harakat pada qur'an. Ini juga disebut sebagai permulaan Ilmu I'rabil Qur'an.
C. ‘Ulumul Qur’an pada Masa Sahabat dan Tabi’in
a. Peranan Sahabat dalam Penafsiran Al-Quran & Tokoh-tokohnya.
Para sahabat senantiasa melanjutkan usaha mereka dalam menyampaikan makna-makna al-qur'an dan penafsiran ayat-ayat yang berbeda diantara mereka, sesuai dengan kemampuan mereka yang berbeda-beda dalam memahami dan karena adanya perbedaan lama dan tidaknya mereka hidup bersama Rasulullah SAW , hal demikian diteruskan oleh murid-murid mereka , yaitu para tabi'in.
Diantara para Mufasir yang termashur dari para sahabat adalah:
1. Empat orang Khalifah ( Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali )
2. Ibnu Masud,
3. Ibnu Abbas,
4. Ubai bin Kaab,
5. Zaid bin sabit,
6. Abu Musa al-Asy'ari dan
7. Abdullah bin Zubair.
Banyak riwayat mengenai tafsir yang diambil dari Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Masud dan Ubai bin Kaab, dan apa yang diriwayatkan dari mereka tidak berarti merupakan sudah tafsir Quran yang sempurna. Tetapi terbatas hanya pada makna beberapa ayat dengan penafsiran apa yang masih samar dan penjelasan apa yang masih global.
b. Peranan Tabi'in dalam penafsiran Al-Quran & Tokoh-tokohnya
Mengenai para tabi'in, diantara mereka ada satu kelompok terkenal yang mengambil ilmu ini dari para sahabat disamping mereka sendiri bersungguh-sungguh atau melakukan ijtihad dalam menafsirkan ayat. Yang terkenal di antara mereka , masing-masing sebagai berikut :
1. Murid Ibnu Abbas di Mekah yang terkenal ialah, Sa'id bin Jubair, Mujahid, 'iKrimah bekas sahaya ( maula ) Ibnu Abbas, Tawus bin kisan al Yamani dan 'Ata' bin abu Rabah.
2. Murid Ubai bin Kaab, di Madinah : Zaid bin Aslam, abul Aliyah, dan Muhammad bin Ka'b al Qurazi.
3. Abdullah bin Masud di Iraq yang terkenal : 'Alqamah bin Qais, Masruq al Aswad bin Yazid, 'Amir as Sya'bi, Hasan Al Basyri dan Qatadah bin Di'amah as Sadusi.
Dan yang diriwayatkan mereka itu semua meliputi ilmu tafsir, ilmu Gharibil Qur'an, ilmu Asbabun Nuzul, ilmu Makki Wal madani dan imu Nasikh dan Mansukh, tetapi semua ini tetap didasarkan pada riwayat dengan cara didiktekan.
D. Masa Pembukuan (Tadwin)
Perkembangan selanjutnya dalam ulumul quran adalah masa pembukuan ulumul Quran , yang juga melewati beberapa perkembangan sebagai berikut :
a. Pembukuan Tafsir Al-Quran menurut riwayat dari Hadits, Sahabat & Tabi'in
Pada abad kedua hijri tiba masa pembukuan ( tadwin ) yang dumulai dengan pembukuan hadist denga segala babnya yang bermacam-macam, dan itu juga menyangkut hal yang berhubungan dengan tafsir. Maka sebagian ulama membukukan tafsir Qur'an yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dari para sahabat atau dari para tabi'in.
Diantara mereka yang terkenal adalah, Yazid bin Harun as Sulami, ( wafat 117 H ), Syu'bah bin Hajjaj ( wafat 160 H ), Waqi' bin Jarrah ( wafat 197 H ), Sufyan bin 'uyainah ( wafat 198 H), dan Aburrazaq bin Hammam ( wafat 112 H ).
Mereka semua adalah para ahli hadis. Sedang tafsir yang mereka susun merupakan salah satu bagiannya. Namun tafsir mereka yang tertulis tidak ada yang sampai ketangan kita.
b. Pembukuan Tafsir berdasarkan susunan Ayat
Kemudian langkah mereka itu diikuti oleh para ulama'. Mereka menyusun tafsir Qur'an yang lebih sempurna berdasarkan susunan ayat. Dan yang terkenal diantara mereka ada Ibn Jarir at Tabari ( wafat 310 H ).
Demikianlah tafsir pada mulanya dinukil ( dipindahkan ) melalui penerimaan ( dari muluit kemulut ) dari riwayat, kemudian dibukukan sebagai salah satu bagian hadis, selanjutnya ditulis secara bebas dan mandiri. Maka berlangsunglah proses kelahiran at Tafsir bil Ma'sur ( berdasarkan riwayat ), lalu diikuti oleh at Tafsir bir Ra'yi ( berdasarkan penalaran ).
c. Munculnya Pembahasan Cabang-cabang Ulumul Quran selain Tafsir
Disamping ilmu tafsir lahir pula karangan yang berdiri sendiri mengenai pokok-pokok pembahasan tertentu yang berhubungan dengan quran, dan hal ini sangat diperlukan oleh seorang mufasir, diantaranya :
1. Ulama abad ke-3 Hijri
? Ali bin al Madini ( wafat 234 H ) guru Bukhari, menyusun karangannya mengenai asbabun nuzul
? Abu 'Ubaid al Qasim bin Salam ( wafat 224 H ) menulis tentang Nasikh Mansukh dan qira'at.
? Ibn Qutaibah ( wafat 276 H ) menyusun tentang problematika Quran ( musykilatul quran ).
2. Ulama Abad Ke-4 Hijri
? Muhammad bin Khalaf bin Marzaban ( wafat 309 H ) menyusun al- Hawi fa 'Ulumil Qur'an.
? Abu muhammad bin Qasim al Anbari ( wafat 751 H ) juga menulis tentang ilmu-ilmu qur'an.
? Abu Bakar As Sijistani ( wafat 330 H ) menyusun Garibul Qur'an.
? Muhammad bin Ali bin al-Adfawi ( wafat 388 H ) menyusun al Istigna' fi 'Ulumil Qur'an.
3. Ulama Abad Ke-5 dan setelahnya
? Abu Bakar al Baqalani ( wafat 403 H ) menyusun I'jazul Qur'an,
? Ali bin Ibrahim bin Sa'id al Hufi ( wafat 430 H )menulis mengenai I'rabul Qur'an.
? Al Mawardi ( wafat 450 H ) menegenai tamsil-tamsil dalam Qur'an ( 'Amsalul Qur'an ).
? Al Izz bin Abdussalam ( wafat 660 H ) tentang majaz dalam Qur'an.
? 'Alamuddin Askhawi ( wafat 643 H ) menulis mengenai ilmu Qira'at ( cara membaca Qur'an ) dan Aqsamul Qur'an.
d. Mulai pembukuan secara khusus Ulumul Quran dengan mengumpulkan cabang-cabangnya.
Pada masa sebelumnya, ilmu-ilmu al-quran dengan berbagai pembahasannya di tulis secara khusus dan terserak, masing-masing dengan judul kitab tersendiri. Kemudian, mulailah masa pengumpulan dan penulisan ilmu-ilmu tersebut dalam pembahasan khusus yang lengkap, yang dikenal kemudian dengan Ulumul Qur'an. Di antara ulama-ulama yang menyusun secara khusus ulumul quran adalah sebagai berikut :
1. Ali bin Ibrohim Said (330 H) yang dikenal dengan al Hufi dianggap sebagai orang pertama yang membukukan 'Ulumul Qur'an, ilmu-ilmu Qur'an.
2. Ibnul Jauzi ( wafat 597 H ) mengikutinya dengan menulis sebuah kitab berjudul fununul Afnan fi 'Aja'ibi 'ulumil Qur'an.
3. Badruddin az-Zarkasyi ( wafat 794 H ) menulis sebuah kitab lengkap dengan judul Al-Burhan fii ulumilQur`an .
4. Jalaluddin Al-Balqini (wafat 824 H) memberikan beberapa tambahan atas Al-Burhan di dalam kitabnya Mawaaqi`ul u`luum min mawaaqi`innujuum.
5. Jalaluddin As-Suyuti ( wafat 911 H ) juga kemudian menyusun sebuah kitab yang terkenal Al-Itqaan fii u`luumil qur`an.
*Catatan : kitab Al-Burhan ( Zarkasyi) dan Al-Itqon ( As-Suyuti) hingga hari ini masih dikenal sebagai referensi induk / terlengkap dalam masalah Ulumul Qur'an. Tidak ada peneliti tentang ulumul quran, kecuali pasti akan banyak menyandarkan tulisannya pada kedua kitab tersebut.
E. ‘Ulumul Qur’an Masa Modern / Kontemporer
Sebagaimana pada periode sebelumnya, perkembangan ulumul quran pada masa kontemporer ini juga berlanjut seputar penulisan sebuah metode atau cabang ilmu Al-Quran secara khusus dan terpisah, sebagaimana ada pula yang kembali membali menyusun atau menyatukan cabang-cabang ulumul quran dalam kitab tersendiri dengan penulisan yang lebih sederhana dan sistematis dari kitab-kitab klasik terdahulu.
1. Kitab yang terbit membahas khusus tentang cabang-cabang ilmu Quran atau pembahasan khusus tentang metode penafsiran Al-Quran di antaranya :
a. Kitab i`jaazul quran yang ditulis oleh Musthafa Shadiq Ar-Rafi`i,
b. Kitab At-Tashwirul fanni fiil qu`an dan masyaahidul qiyaamah fil qur`an oleh Sayyid Qutb,
c. Tarjamatul qur`an oleh syaikh Muhammad Musthafa Al-Maraghi yang salah satu pembahasannya ditulis oleh Muhibuddin al-hatib,
d. Masalatu tarjamatil qur`an Musthafa Sabri,
e. An-naba`ul adziim oleh DR Muhammad Abdullah Daraz dan
f. Muqaddimah tafsir Mahaasilu ta`wil oleh Jamaluddin Al-qasimi.
2. Kitab yang membahas secara umum ulumul quran dengan sistematis, diantaranya :
a. Syaikh Thahir Al-jazaairy menyusun sebuah kitab dengan judul At-tibyaan fii u`luumil qur`an.
b. Syaikh Muhammad Ali Salamah menulis pula Manhajul furqan fii u`luumil qur`an yang berisi pembahasan yang sudah ditentukan untuk fakultas ushuluddin di Mesir dengan spesialisasi da`wah dan bimbingan masyarakat dan diikuti oleh muridnya,
c. Muhammad Abdul a`dzim az-zarqani yang menyusun Manaahilul i`rfaan fii u`lumil qur`an.
d. Syaikh Ahmad Ali menulis muzakkiraat u`lumil qur`an yang disampaikan kepada mahasiswanya di fakultas ushuluddin jurusan dakwah dan bimbingan masyarakat.
e. Kitab Mahaabisu fii u`lumil qur`an oleh DR Subhi As-Shalih.
Pembahasan tersebut dikenal dengan sebutan u`luumul qur`an, dan kata ini kini telah menjadi istilah atau nama khusus bagi ilmu-ilmu tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar